Menurut George C. Lodge dalam bukunya Managing Globalization In The Age Of Interdependence (1995: 1), globalisasi adalah suatu proses dimana masyarakat dunia menjadi semakin terhubungkan (interconnected) satu sama lainnya dalam berbagai aspek kehidupan mereka baik dalam hal budaya, ekonomi, politik, teknologi, maupun lingkungan. Akibatnya, dunia saat ini telah menjadi sebuah pasar global, bukan hanya untuk barang dan jasa, tetapi juga untuk penyediaan modal dan teknologi. Atau dengan kata lain, negara-negara di dunia, secara berangsur telah beralih kepada mekanisme pasar (market-driven) daripada campur tangan pemerintah dalam memecahkan berbagai persoalan perekonomian nasional.
Dengan keterkaitan antara satu negara dengan negara lainnya ini, salah satu implikasi yang muncul adalah ketatnya persaingan antar bangsa, baik dalam hal produk barang dan jasa, kapasitas sumber daya manusia, maupun dalam hal penyediaan fasilitas dan prosedur yang memadai untuk kegiatan investasi dari negara tertentu. Jika suatu negara tidak memiliki basis keunggulan berbanding (comparative advantage) apalagi keunggulan bersaing (competitive advantage), maka dapat dipastikan bahwa negara tersebut akan tergilas oleh negara lain, sehingga pada gilirannya, secara internasional akan menempatkan negara tersebut pada posisi terbelakang.
Dalam kaitan ini, sangat menarik untuk menyimak pendapatKristiadi (1997: 75-76) mengenai pergeseran basis perekonomian dari komparatif menjadi kompetitif suatu negara sebagai berikut:
“Dalam menghadapi era liberalisasi ekonomi Asia Pasifik (APEC) dan dunia (WTO) yang tidak mungkin dihindari, pergeseran basis kompetitif dari sumber daya alam kepada sumber daya manusia, sudah menjadi tuntutan mutlak. Sebab, hanya negara-negara yang memiliki sumber daya manusia yang berkualitas sajalah yang akan mampu meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakatnya dengan cepat. Negara-negara yang hanya mengandalkan kekayaan SDA tetapi mengabaikan kualitas SDM, tidak akan mampu bersaing dalam dunia internasional dibandingkan dengan negara yang mempunyai SDA terbatas namun memiliki SDM yang unggul”.
Untuk menghindari kekalahan dalam persaingan global ini, maka suatu negara harus melakukan upaya-upaya reformasi dalam kebijakan publiknya. Bahkan Tanri Abeng (1997: 91) menegaskan bahwa proses globalisasi selalu menghendaki dilakukannya transformasi manajemen bagi setiap organisasi, baik privat maupun organisasi publik. Tuntutan akan perlunya transformasi manajemen atau penerapan paradigma baru manajemen ini ditekankan juga oleh Emil Salim (1997: 18-19) yang mengatakan sebagai berikut:
“……. proses globalisasi yang sedang melanda dunia sekarang ini melahirkan kebutuhan mengkaji ulang pola-pola manajemen yang dilaksanakan sekarang untuk diubah dan disesuaikan agar mampu menanggapi tantangan jaman. …… pola manajemen modern ini tidak hanya perlu dikembangkan dalam lingkungan bisnis, tetapi lembaga pemerintah dan organisasi kemasyarakatan umumnya juga perlu mengembangkan pola manajemen modern, sungguhpun tidak serupa dengan keperluan bisnis – tetapi paling tidak – sesuai dengan keperluan untuk menanggapi tantangan global”.
Perlunya transformasi manajemen sektor publik ini dilatar belakangi oleh suatu masalah yang sangat krusial, yaitu bagaimana menciptakan efisiensi kerja serta mendorong kinerja sektor publik. Sebab, kondisi aktual maupun faktual selama ini menunjukkan bahwa organisasi pemerintah masih cenderung bersifat organik dengan mekanisme kerja yang tidak efisien serta kurang memiliki daya saing yang memadai dibanding sektor privat atau swasta, apalagi dibandingkan dengan pihak luar negeri.
Hal ini menunjukkan adanya ironi, bahwa ditengah penilaian positif dari dunia internasional kepada Indonesia dalam bidang ekonomi – seperti yang akan dipaparkan dibawah – ternyata kondisi riil lebih banyak bersifat negatif. Dalam kasus ini muncul permasalahan, apakah penilaian dunia internasional tersebut benar-benar obyektif. Sebab, hanya dalam beberapa tahun setelah predikat “ajaib” tersebut, justru Indonesia kembali terlempar ke jurang krisis kegelapan, kelaparan dan keterbelakangan.
Bahkan secara terbuka, Presiden Soeharto (dalam Kompas, 1 April 1998: 1) mengakui bahwa sebagai akibat krisis moneter dan krisis ekonomi, pendapatan rata-rata per kapita rakyat telah menurun, yang berarti makin banyak jumlah penduduk miskin di Indonesia dalam sembilan bulan ini. Dalam keterangan lebih rinci, Menko Ekuin / Ketua Bappenas mengatakan bahwa pendapatan per kapita Indonesia tahun 1998 diperkirakan sebesar US $ 610, atau menurun dibandingkan tahun 1996 sebesar US $ 1.155 dan tahun 1997 sebesar US $ 1.088.
Oleh karena itu, salah satu hantu yang membayangi dari krisis moneter dan perekonomian ini adalah mandegnya pertumbuhan ekonomi dan pembangunan pada umumnya, serta penurunan kualitas pelayanan umum (public service) pada khususnya. Inilah tantangan utama bangsa Indonesia dalam memasuki abad 21 yang penuh persaingan, terutama bagaimana memelihara konsistensi suatu kebijakan serta menjaga keberhasilan pembangunan pada tingkat yang diharapkan.
Meskipun demikian, reformasi sektor publik sesungguhnya tidak hanya dimaksudkan untuk memenuhi tuntutan untuk menciptakan efisiensi kerja serta mendorong kinerja sektor publik, melainkan juga sebagai strategi dalam mengantisipasi terjadinya perubahan bentuk dan sifat organisasi (baik privat maupun publik) yang disebabkan oleh proses globalisasi itu sendiri. Dengan kata lain, paradigma administrasi pemerintahan – baik kelembagaan maupun pola kepemimpinannya – tidak dapat disamakan pada suatu komunitas tradisional yang relatif bersifat placid randomized, dengan masyarakat informasi yang turbulent.
Dalam hubungan mengenai perubahan bentuk dan sifat organisasi ini, Steven A. Rosell (1992: 26-27) menyebutkan adanya empat lingkungan organisasi.
Pertama, adalah organisasi dengan lingkungan yang bersifatplacid randomized environment (tenang dan acak). Ini merujuk kepada suatu komunitas kecil yang masing-masing angggotanya hampir tidak memiliki hubungan sama sekali (separate units very loosely connected). Disamping itu, tahap ini dicirikan oleh adanya persaingan sempurna. Namun, organisasi tipe demikian sesungguhnya tidak pernah ada, sebab membutuhkan adanya prasyarat bahwa setiap orang harus well informed dan semua organisasi berskala atomistik.Oleh karena itu, pada tahap ini tidak terdapat perbedaan antara strategi dan taktik dalam pola kepemimpinan yang dibutuhkan.
Kedua, tipe lingkungan yang disebut placid clustered yang dicirikan oleh adanya organisasi-organisasi yang lebih besar dan mengelompok, serta menjalin hubungan secara lebih kuat melalui mekanisme persaingan tidak sempurna. Dalam keadaan ini, kehidupan organisasional lebih banyak diatur oleh mekanisme pasar (the invincible hand), sehingga tidak terjadi banyak distorsi. Dengan kata lain, lingkungan semakin terpola dan kelangsungan hidup organisasi akan sangat tergantung pada sejauhmana organisasi tersebut memahami pola-pola lingkungan disekitarnya. Akibatnya, pimpinan organisasi akan memandang strategi jauh berbeda dibanding sekedar taktik.
Selanjutnya pada tahap ketiga terdapat lingkungan yangdisturbed-reactive sebagaimana halnya pada pasar oligopolistik. Disini terdapat beberapa unit organisasi yang besar dan bertipe sama, saling berinteraksi dan mengambil keuntungan dari interaksi yang dilaksanakan tersebut. Untuk itu, organisasi dalam lingkungan ketiga ini perlu menambahkan fungsi baru antara strategi dan taktik, yang disebut operasi.
Adapun tipe lingkungan organisasi terakhir adalah turbulent field. Organisasi pada tahap ini akan sangat saling berhubungan dan saling memberikan efek yang sangat kuat dari hubungan tersebut. Akan tetapi dinamika organisasi tadi sesungguhnya tidak hanya lahir dari hubungan yang dijalin, tetapi juga oleh lingkungan dimana hubungan itu sendiri dijalin. Dalam kutipan aslinya, Steven A. Rosell (1992: 27) menulis: “…. the dynamic properties arise not simply from the interactions of the component organizations, but also from the field itself. The ground is in motion”.
Bentuk dan sifat organisasi kemasyarakatan dan pemerintahan dewasa ini pada dasarnya berada pada tipe lingkungan yang keempat, sehingga setiap organisasi memiliki potensi besar untuk berubah disebabkan lingkungan yang turbulent. Dengan kata lain, dewasa ini telah terjadi perubahan lingkungan dari yang placid randomized menjadi lingkungan yang turbulent. Dan perubahan lingkungan ini selalu mensyaratkan adanya perubahan paradigma manajemen dalam suatu organisasi.
Dalam kaitan ini, Wahyudi Prakarsa (1997: 46) menyebutkan adanya tiga perubahan dimensi paradigma, yakni perubahan dalam struktur, sistem dan kultur. Dalam dimensi struktur, organisasi yang rigid dengan prinsip big is beautiful harus diubah menjadi fleksibel dengan prinsip small is beautiful. Dalam dimensi sistem, siklus pengawasan dengan modelquality control circle menjadi total quality management. Sedangkan dalam dimensi kultur, prinsip competition harus berubah menjadi prinsip coopetition.
Sementara itu, dalam aspek sumber daya manusia, proses globalisasi dan implikasinya meniscayakan keberadaan manusia-manusia pelaksana pembangunan dan pemerintahan yang profesional. Dalam kaitan ini, Mary Ann von Glinow(1988: 12) menyatakan bahwa konsepsi profesional harus mencakup sedikitnya enam sifat sebagai berikut:
· Expertise – normally gained from prolonged specialized training – in a body of abstract knowledge.
· Autonomy – a perceived right to make choices that concern both means and ends.
· Commitment to the work and profession – in short, the “calling”.
· Identification with the profession and other professionals.
· Ethics – a felt obligation to render service without concern for self-interest and without becoming emotionally involved with clients.
· Collegial maintenance of standards – a perceived commitment to police the conduct of other professionals.
Sedangkan Noorsyamsa Djumara (1997: 19-20) menulis bahwa pembentukan kompetensi dan kepemimpinan aparatur / pegawai negeri harus dilakukan meliputi: (1) Aspek intelektual, (2) Aspek manajerial, dan (3) Aspek behavioral.
Kompetensi intelektual sangat diperlukan sehubungan dengan perkembangan berbagai bidang disiplin ilmu serta kemajuan masyarakat yang sangat pesat, sehingga aparatur pemerintah dituntut untuk dapat menghadapi setiap permasalahan dengan wawasan yang tajam dan analitis, sehingga dapat ditentukan kebijakan atau keputusan yang tepat, akurat dan bermanfaat.Kompetensi manajerial dibutuhkan mengingat bahwa kelompok aparatur sesungguhnya merupakan pemimpin (elite) dari masyarakat luas (massa ). Menghadapi massa yang demikian heterogen disegala aspeknya, maka kepemimpinan yang partisipatif, responsif dan antisipatif menadi kebutuhan yang sangat mendesak. Adapun kompetensi behavioral atau perilaku, juga sangat diperlukan didalam era globalisasi yang sangat transparan ini. Sebab, sistem norma, kaidah atau nilai yang dibawa oleh arus globalisasi seringkali menjadikan orang cenderung individualis dan liberalis yang hanya mengejar keuntungan materi saja; sementara kaidah-kaidah humanisme, moralisme, keharmonisan, kekeluargaan dan kebersamaan justru dilupakan.
Perdagangan Bebas Antar Bangsa Sebagai Ciri Globalisasi
Pada pembahasan diatas telah disinggung bahwa globalisasi akan mengakibatkan terjadinya keterkaitan antar bangsa dan persaingan antar bangsa. Keterkaitan dan persaingan tersebut secara konkrit diwujudkan dalam hubungan perdagangan. Oleh karena itu, hanya bangsa atau negara yang memiliki daya saing (produk dan SDM) tinggi dengan dukungan struktur usaha yang lincah, sistem kerja yang efisien, serta budaya korporasi yang berbasis pada jiwa kewirausahaan, yang akan mampu memanfaatkan peluang globalisasi seoptimal mungkin.
Mengenai perdagangan internasional ini, secara teoretis mengacu kepada pendapat Adam Smith dan David Ricardo.Smith dalam bukunya berjudul The Wealth of Nations: An Inquiry into The Nature and Causes (1766) mengemukakan perlunya keunggulan mutlak (absolute advantage) bagi suatu negara, sementara Ricardo justru menganjurkan perlunya keunggulan nisbi (comparative advantage). Kedua tokoh ini tergolong dalam mashab ekonomi klasik.
Konsep absolute advantage mengajarkan bahwa pada umumnya akan menguntungkan bagi suatu negara bila mengkhususkan diri (specialization) dalam produk yang dapat dihasilkan dengan biaya lebih murah daripada negara lain. Jadi jika setiap negara melakukan hal yang serupa, maka semuanya akan beruntung atau lebih beruntung dari pada jika mereka menghasilkan sendiri semua produk yang mereka perlukan.
Sementara konsep comparative advantage mengajarkan bahwa meskipun suatu negara mampu menghasilkan berbagai produk yang biayanya lebih murah dari pada negara lain, tetap masih lebih menguntungkan baginya jika negara tersebut mengkhususkan diri hanya pada produk-produk yang paling murah biayanya dibanding negara lain. Suatu negara hendaknya membiarkan negara lain menghasilkan produk yang perbedaan biayanya sedikit, sebab dengan demikian akan lebih banyak dana dan tenaga yang dapat dipusatkan pada produk yang paling efisien.
Menurut Paul Ormerod (1997: 61), hingga hari ini konsepcomparative advantage masih merupakan dasar perdagangan luar negeri. Konsep lanjutan dari konsep absolute advantage ini secara empirik berkembang seiring dengan perkembangan perekonomian Inggris berkat adanya penemuan-penemuan baru dibidang teknologi produksi dan industri. Kemajuan yang drastis dan dramatis tersebut mengakibatkan hampir semua barang dagangan waktu itu dapat dihasilkan oleh Inggris dengan biaya lebih murah (absolute advantage). Namun demikian, kenyataannya perdagangan dengan negara lain masih terus berlangsung. Hal ini disebabkan Inggris hanya mengkhususkan diri pada produk yang paling murah biaya pembuatannya, tidak hanya sekedar lebih murah dari biaya produk negara lain. Inilah inti dari prinsip comparative advantage.
Satu asumsi yang digarisbawahi dalam konsep Ricardo adalah bahwa teorinya hanya berlaku jika (assumption) dana dan tenaga yang diperlukan untuk menghasilkan suatu produk tidak bebas mengalir dari suatu negara ke negara lain. Jika faktor modal dan tenaga kerja bebas keluar masuk antar negara, maka teori ini tidak berlaku. Dengan demikian, sesungguhnyaRicardo mendukung pembatasan peredaran modal (capital mobility) dan sangat menyesalkan kendornya pembatasan tersebut.
Sementara kondisi empiris kehidupan ekonomi dunia saat ini tidak memungkinkan suatu negara melakukan pembatasan-pembatasan atau proteksi, sebagai konsekuensi logis dari era globalisasi sebagaimana telah dijelaskan diatas. Dengan kata lain, pengandaian dalam teori Ricardo sudah tidak dapat lagi dipertahankan secara empirik. Ironisnya, para ekonom ortodoks masih tetap memuji perdagangan bebas dan pasar bebas sebagai suatu sistem baru yang akan menguntungkan semua negara.
Hal ini sangat bertentangan dengan pendapat Maurice Allais(dalam Ormerod, 1997: 23) – ekonom Perancis peraih Nobel ilmu ekonomi tahun 1988 – yang mengeluarkan pernyataan pada bulan Maret 1993 sebagai berikut:
“Tidak betul bahwa perdagangan bebas pasti menguntungkan semua pihak. Perdagangan bebas hanya akan menguntungkan dalam keadaan yang snagat khusus, yakni jika tingkat perekonomian pihak yang terlibat kurang lebih sama. Itulah sebabnya, Perjanjian Maastricht itu keliru. Politik Komisi Eropa mengenai perdagangan bebas mengandung bahaya“.
Pandangan Allais menggambarkan betapa tingginya resiko yang akan dihadapi oleh suatu negara yang terikat dalam suatu kerjasama ekonomi regional dan yang menghilangkan batasan-batasan tertentu dalam praktek perdagangannya. Jangankan secara global, untuk lingkup negara-negara Eropa Barat yang relatif maju saja, masih mengandung kekurangan-kekurangan. Inti dari permasalahan ini adalah adanya hubungan yang tidak simetris (asymmetric association) dalam praktek perdagangan antar bangsa yang bersangkutan. Akibatnya, terjadilah trade – gap antara antara negara maju (developed countries) dengan negara yang relatif lebih terbelakang (developing countries).
Sehubungan dengan adanya bahaya dari prinsip perdagangan bebas tersebut, maka negara-negara berkembang yang akan bergabung kedalam forum kerjasama ekonomi internasional harus benar-benar memiliki keunggulan absolut, dan tidak semata-mata keunggulan nisbi seperti yang dianjurkan olehRicardo. Atau dengan kata lain, perlu dicapai suatu keseimbangan struktural ekonomi antar negara sebagai prasyarat keberhasilan sistem perdagangan bebas.
Dengan demikian, sistem perdagangan bebas tidak muncul menjadi ancaman, namun merupakan peluang bagi seluruh negara di dunia untuk meningkatkan kinerja ekonominya sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Ini dapat terealisasikan hanya apabila perdagangan bebas dapat menimbulkan tiga situasi utama, yakni:
o Menghindarkan terjadinya X-inefficiency. Artinya, dalam alam kompetisi, pihak produsen akan didorong untuk melaksanakan proses produksi yang efisien (meminimumkan biaya produksi) sehingga harga yang dibebankan kepada pihak konsumen menjadi relatif murah.
o Menghindarkan ketidakstabilan ekonomi makro yang menjurus kepada timbulnya stop-go macroeconomic cycles.
o Mendorong berlangsungnya proses produksi dalam skala penuh dengan memperluas produksi untuk ekspor. Liberalisasi perdagangan diantisipasikan menimbulkan situasi yang berciri increasing returns to scale, sehingga dapat kompetitif dipasaran internasional (Sritua Arief, 1998: 149-150).
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa perdagangan bebas antar negara (international trade) dalam era globalisasi merupakan suatu keniscayaan yang tidak bisa ditolak, namun perlu disikapi dengan waspada dan hati-hati disertai dengan kesiapan sumber daya manusianya, baik dari kalangan aparatur dan pelaku ekonomi maupun lapisan masyarakat seluruhnya.
Peran dan Pergeseran Peran Pemerintah Dalam Era Perdagangan Bebas
Secara umum dapat dikatakan bahwa fungsi utama suatu negara dengan perangkat pemerintahannya adalah untuk melayani dan melindungi kepentingan masyarakat, membebaskan penduduk dari rasa takut, sekaligus meningkatkan kesejahteraannya (Arief Budiman, 1996: 29;Wahyudi Kumorotomo, 1992: 62). Bahkan Frans Magnis Suseno (1988: 305) mengatakan bahwa raison d’être atau alasan satu-satunya bagi eksistensi negara adalah kepentingan umum. Disamping itu, kemakmuran dan kesejahteraan rakyat adalah hukum yang tertinggi pada suatu negara (salus populi suprema lex).
Dalam konteks ke-Indonesia-an, birokrasi harus mampu mewujudkan tujuan nasional yaitu tercapainya masyarakat yang maju, mandiri dan sejahtera.
Adanya fungsi kesejahteraan dan fungsi pelayanan yang diemban oleh birokrasi tadi jelas tidak dapat dipisahkan dari filsafat kerakyatan sebagai inti ajaran kontrak sosial yang dikembangkan oleh Jean Jacques Rousseau (Du Contract Social, 1762). Teori ini mengajarkan bahwa manusia pada fase masyarakat primitif memiliki sifat-sifat kesamaan. Namun dengan timbulnya hak milik perseorangan (propriete privee), sifat tadi berubah menjadi ketidaksamaan, yang pada gilirannya menimbulkan bentrokan (conflict) dan peperangan antar manusia yang mengakibatkan suatu keadaan kacau (social disorder). Untuk memperoleh ketenteraman dan kebebasan, maka masyarakat mengadakan perjanjian bersama (kontrak sosial), yang membentuk suatu pemerintahan dengan tugas-tugas pelayanan dan kesejahteraan (Koentjoro Poerbopranoto, 1987: 17).
Untuk merealisasikan fungsi kesejahteraan dan fungsi pelayanan sebagaimana tersebut diatas, maka birokrasi pemerintahan harus menjalankan “kebijakan-kebijakan negara”. Dan untuk mengimplementasi-kan kebijakan yang telah ditetapkan secara baik dan lancar, pemerintah dilengkapi dengan berbagai instrumen maupun sarana yang diharapkan mampu memacu kinerjanya secara optimal (discretion of power).
Oleh karena mengemban dua fungsi pokok ini, maka salah satu sisi normatif yang melekat pada setiap tindakan atau keputusan pejabat publik (sebagai unsur pelaksana birokrasi) adalah bahwa tindakan atau keputusan tadi haruslah selalu bermuara kepada upaya mencapai kesejahteraan publik.
Pentingnya peranan atau fungsi negara dalam penyelenggaraan kesejahteraan umum terutama dalam sistem ekonomi menurut Didik Rachbini (1994: 83) didasarkan paling tidak pada dua alasan. Pertama, timbulnya kegagalan pasar (market failure) dalam sistem ekonomi, membuka kemungkinan masuknya peranan negara untuk mendorong terwujudnya mekanisme pasar yang efektif sehingga kesejahteraan para pelaku ekonomi bisa tercapai secara lebih baik. Kedua, kenyataan terdapatnya kegagalan distribusi pendapatan dan ketimpangan kesejahteraan masyarakat, sehingga peranan pemerintah lebih tertuju untuk melakukan kebijakan redistribusi atau pengalokasian kembali sumber-sumber ekonomi. Inilah dasar teoritis dari mazhab Welfare Economicsyang menjadi basis pembenaran terhadap intervensi pemerintah dalam kehidupan masyarakat.
Meskipun demikian, dalam praktek kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat dapat diamati bahwa pemerintah menghadapi berbagai kendala maupun hambatan yang menyebabkan pelaksanaan fungsi pelayanan dan kesejahteraan menjadi tersendat. Dengan kata lain, banyaknya tingkat keluhan masyarakat terhadap kinerja pelayanan publik serta masih tingginya tingkat kemiskinan masyarakat, menunjukkan bahwa proses pencapaian tujuan nasional masih akan memakan waktu yang amat panjang, jika tidak dikatakan sebagai suatu kegagalan negara (state failure).
Oleh karena itu, wajarlah jika kemudian berkembang pemikiran yang menghendaki – atau bahkan menuntut – adanya perubahan orientasi pemerintahan yang lebih menekankan kepada fungsi-fungsi katalisasi, antisipasi dan desentralisasi. Artinya, masyarakat (atau swasta) perlu diberikan kebebasan yang lebih besar untuk berpartisipasi dalam bidang-bidang usaha, namun tetap dalam kerangka aturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
Disamping itu, pergeseran peran pemerintah juga merupakan suatu proses yang logis dan beralasan. Dikatakan logis dan beralasan, sebab pada tahap-tahap awal pembangunan, prioritas pembangunan masih ditekankan pada penyiapan sarana/prasarana dasar guna mendorong pertumbuhan ekonomi, mobilisasi dana, dan penjagaan keseimbangan pertumbuhan antar daerah. Dengan adanya prioritas seperti ini, wajarlah jika peran pemerintah menjadi menonjol. Namun manakala potensi swasta telah berkembang dengan pesat, sudah saatnya pemerintah menarik mundur segenap kekuatannya, serta lebih banyak berdiri di belakang sebagai pengendali dan pengatur irama kehidupan diberbagai sektor (tut wuri handayani).
Sehubungan dengan hal tersebut diatas, suatu tugas dan atau urusan yang penyelenggaraannya masih bersifat sentralistis, jelas tidak sesuai lagi dengan tuntutan jaman. Oleh sebab itu, desentralisasi, deregulasi dan debirokratisasi merupakan salah satu pilihan strategis bagi para penentu kebijakan dan pengambil keputusan dalam upaya membangkitkan potensi, kemampuan dan kapasitas masyarakat (swasta) serta unit organisasi (birokrasi) yang lebih kecil.
Dengan adanya upaya otonomi atau desentralisasi dalam manajemen pembangunan dan pemerintahan, menurut Emil J. Sady (dalam Bintoro Tjokroamidjojo, 1990: 82) akan memberikan beberapa keuntungan sebagai berikut:
o Mengurangi beban pemerintah pusat, dan campur tangan tentang masalah–masalah kecil pada tingkat lokal dan memberikan peluang untuk koordinasi pelaksanaan tingkat lokal;
o Meningkatkan pengertian rakyat serta dukungan mereka dalam kegiatan usaha pembangunan sosial ekonomi, dan pada tingkat lokal dapat merasakan keuntungan dari pada kontribusi kegiatan mereka;
o Penyusunan program-program untuk perbaikan sosial ekonomi pada tingkat lokal sehingga dapat lebih realistis;
o Melatih rakyat untuk dapat mengatur urusannya sendiri; serta
o Pembinaan kesatuan nasional.
Dalam perspektif yang agak berbeda, analisis Sofian Effendi(1996: 16 – 17) memberikan gambaran mengenai pentingnya “reformasi” sektor publik ini. Menurut Effendi, intervensi pemerintah yang terlalu besar dalam kegiatan ekonomi terbukti mengandung penuh keterbatasan serta telah menyebabkan inefisiensi yang sangat besar. Untuk itu sektor publik, terutama birokrasi publik, harus mengalami pergeseran nilai dari otoritarianisme birokratik ke otonomi birokratis, atau perubahan dari negara pejabat menjadi negara pelayan.
Dengan kata lain, pendapat yang beranggapan bahwa birokrasi merupakan organisasi mapan yang tidak pernah bangkrut, ternyata tidak memiliki relevansi lagi. Bahkan sesungguhnya, Peter Drucker sejak tahun 1968 lewat bukunya yang berjudulThe Age of Discontinuity telah meramalkan secara jitu mengenai kebangkrutan pemerintahan birokratis.
Kondisi seperti ini mensyaratkan perlunya dilakukan penataan ulang, restrukturisasi, reformasi, revitalisasi, atau reengineeringpemerintahan. Istilah ini dipergunakan bersamaan, sebab diantara keempat istilah ini menunjuk pada sesuatu yang sama, yaitu suatu proses perubahan yang menurut Caiden (dalam Soesilo Zauhar, 1996: 8) bertujuan:
“…… improve the administration performance of individual, groups, and institutions and to advise them how they can achive their operating goals more effectively, more economically, and more quickly”.
(…… meningkatkan kinerja administrasi pada tingkat individu, kelompok maupun lembaga, serta menunjukkan cara meraih tujuan operasional secara lebih efektif, ekonomis, dan lebih cepat).
Dalam rangka mengantisipasi tuntutan transformasi sektor publik yang didorong oleh proses globalisasi inilah, aktualisasi peranan aparat pemerintah Daerah Tingkat II semakin relevan. Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah, peran apakah yang dapat dijalankan oleh pemerintah daerah (Tingkat II), dan bagaimanakah peran tersebut dapat dijalankan?
Untuk memahami peranan pemerintah daerah ini, kiranya perlu diajukan John Stewart (1988: 79-82) yang mengajukan konsepsi tentang delapan peran pemerintah lokal, yakni sebagai berikut:
1. Building the relationship between the political process and the management process.
Hal ini berarti bahwa seorang pimpinan daerah harus menjadi mediator yang adil dalam menerjemahkan kebijakan politis pemerintah Pusat kedalam kebijakan operasional bagi kepentingan masyarakat di daerahnya.
2. Understanding the organization, realising its strengths and overcoming its weaknesses.
Jajaran aparatur pemerintah di Daerah tidak cukup hanya mampu mengidentifikasikan kekuatan dan kelemahan, namun harus mampu mengatasi kelemahan yang ada sekaligus memelihara faktor kekuatan yang dimiliki. Mereka perlu memastikan bahwa kinerja dan efektivitas organisasi tetap terjaga baik, sehingga akuntabilitas maupun responsibilitas organisasi berada pada tingkatan yang cukup tinggi..
3. Appreciating policy not in service, but in authority terms.
Ini mengandung makna bahwa para penyelenggara pemerintahan daerah hendaknya memiliki wawasan yang tidak sebatas organisasi pemerintah daerah itu sendiri, tetapi harus bersifat lintas sektoral maupun multi disipliner. Akan tetapi, meskipun dituntut untuk memahami berbagai dimensi permasalahan, namun para penyelenggara pemerintahan daerah ini tetap harus memiliki peran yang tinggi dalam spesialisasi tertentu.
4. The responsibility for resolving the problems that cannot be resolved departmentally.
Masalah kegagalan organisasi, konflik antar lembaga, dan seluruh permasalahan yang ditemui di suatu daerah, pada hakekatnya menjadi tangungjawab pemerintah daerah.
5. Understanding the role of authority in its community and helping it to fulfil that role.
6. Having a sense of direction.
Artinya, aparatur pemerintah di Daerah Tingkat II harus memiliki kemampuan memberikan perintah secara cermat, khususnya dalam rangka mengatasi suatu krisis akibat tekanan dan perubahan politik, maupun konflik-konflik yang terjadi dilingkungan organisasinya.
7. Helping the organization change in a changing society.
Aparatur pemerintah Daerah Tingkat II perlu menjamin keberlangsungan organisasi beserta pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya dalam rangka menjamin keberlanjutan pelayanan kepada masyarakat, melalui penciptaan stabilitas lingkungan (internal dan eksternal) organisasi. Dengan kata lain, aparatur harus mampu memberikan garansi bahwa dalam perubahan lingkungan seperti apapun, tujuan organisasi tetap dapat direalisasikan secara tepat waktu dan tepat kualitas.
8. The head of the council paid service.
Aparatur pemerintah Daerah Tingkat II memikul tanggungjawab secara keseluruhan atas penyelenggaraan tugas-tugas yang dilaksanakannya maupun atas kewenangan yang diberikan kepada unit-unit kerjanya yang lebih kecil. Aparatur juga dituntut tanggungjawab untuk membangun sebuah tim kerja yang mampu bekerjasama secara baik guna meningkatkan peranan tim tersebut.
Apa yang dikemukakan oleh Stewart ini memang belum memuaskan dan belum mampu menggambarkan peran pemerintah (daerah) secara konkrit dan menyeluruh. Namun pemikiran mengenai delapan peranan pemerintah tadi dapat dikatakan sebagai suatu kemajuan jika diingat bahwa semenjak terbitnya buku Il Principe dari Niccolo Machiavelli, belum ada lagi pakar ilmu politik yang mengkaji tentang tugas dan fungsi pemerintah.
Hal ini ditekankan oleh Peter Drucker (1997: 282) yang mengatakan sebagai berikut:
“….. kita memerlukan sesuatu yang tidak kita miliki: sebuah teori mengenai apa yang bisa dilakukan oleh pemerintah. Tak ada pemikir politik yang besar, setidaknya setelah Machiavelli hampir 500 tahun yang silam, yang telah menjawab pertanyaan ini. semua teori politik sejak Locke dalam The Federalist Paper sampai dengan artikel-artikel ….. tak satupun yang mempertanyakan apa fungsi yang tepat dari pemerintah. Tak satupun yang mempertanyakan hasil-hasil dari kegiatan pemerintah yang seharusnya diperhitungkan”.
Sementara itu dalam konteks pembangunan secara umum,John Weiss (1995: 8) mengemukakan peranan dan tanggungjawab pemerintah dalam pembangunan – khususnya bidang ekonomi – terdiri dari empat wilayah, yaitu:
“macroeconomic management, regulatory and promotional framework, investment in human capital and infrastructure, and protection of the poor and vulnerable”.
(mengelola dan menyelenggarakan kebijakan makroekonomi yang mantap, menyelenggarakan pengaturan dan promosi terhadap kebijakan dalam suatu kegiatan tertentu, mengembangkan kemampuan sumber daya manusia sebagai faktor modal, serta melindungi dan mengentaskan masyarakat miskin atau terbelakang).
Masing-masing dari keempat peranan pemerintah dalam pembangunan (berfokus pada bidang ekonomi) ini akan dipaparkan lebih lanjut dalam sub bab lain pada bab ini yang membahas mengenai “Kebijakan Makro Ekonomi Negara Berkembang (termasuk Indonesia ) dan Tingkat Kinerjanya”.
Berbagai peran, campur tangan atau intervensi pemerintah dalam proses pembangunan tersebut, menurut Irving Swerdlow sebagaimana dikutip Bintoro Tjokroamidjojo(1990: 19) dapat dilakukan dengan beberapa strategi, antara lain operasi langsung (direct operation), pengendalian langsung (direct control), pengendalian tidak langsung (indirect control), pemengaruhan langsung (direct influence), serta pemengaruhan tidak langsung (indirect influence).
Lebih jauh dalam TAP MPRS No. XXIII tahun 1966 tentang “Pembaharuan Kebijaksanaan Landasan Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan” yang merupakan rumusan pertama mengenai peranan pemerintah dalam demokrasi ekonomi dan pembangunan, disebutkan:
“Dalam menjalankan peranannya di bidang ekonomi, maka Pemerintah harus lebih menekankan pengawasan kearah kegiatan ekonomi dan bukan pada penguasaan yang sebanyak mungkin dari kegiatan-kegiatan ekonomi”.
Ketentuan ini sangat bersesuaian dengan paradigmaReinventing Government yang diajukan David Osborne danTed Gaebler (1992) mengenai pemerintahan katalis, yakni pemerintah yang lebih banyak melakukan fungsi pengaturan dan pengendalian daripada sebagai pelaksana langsung suatu kegiatan (steering rather than rowing). Dengan kata lain, pemerintah sudah harus mulai berpikir mengenai pemberdayaan masyarakat melalui kebijakan privatisasi maupun kemitraan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar