Bookmarks

Sabtu, 22 Oktober 2011

Globalisasi dan Dampaknya Terhadap Tenaga Kerja


GLOBALISASI DAN DAMPAKNYA TERHADAP TENAGA KERJA
Salamuddin Daeng (IGJ)[1]
 
Globalisasi telah menjadi kalimat yang sangat hebat di jaman ini. Narasi ini bahkan telah menciptakan perdebatan yang sengit dan polarisasi antara kekuatan kapitalisme di negara maju yang mendukung globalisasi dengan para aktivis gerakan sosial yang menganggap globalisasi telah mengikis lingkungan hidup, hak-hak buruh, kedaulatan nasiona negara-negara dunia ketiga.
 
Pertarungan ini sungguh wajar dikarenakan globalisasi ternyata memiliki implikasi ekonomi dan poltik yang sangat luas.  Joseph Stiglitz (2003) mengatakan bahwa globalisasi bukan hanya bermakna leluasanya pergerakan barang, jasa, dan modal melewati batas-batas negara. Globalisasi juga berarti kian lajunya pergerakan gagasan… yang paling mendasar adalah pertarungan gagasan antara mereka yang menganjurkan peran minimal negara dengan mereka yang meyakini besarnya kebutuhan akan pemerintahan jika ingin mencapai suatu masyarakat yang diidamkan.[2]
 
Sejarah globalisasi ekonomi telah melalui tahap imperialisme kolonialisme, suatu tahapan yang lebih tinggi dalam praktek kapitalisme. Sistem ini mengintegrasikan negara jajahan (koloni) dengan negara induk. Terjadinya revolusi industri pada ahir abad ke 18 semakin meningkatkan kebutuhan akan bahan baku serta pasar menjadi daya dorong utama kolonialisme secara lebih luas dan intensif, termasuk yang dilakukan negara-negara Eropa terhadap Nusantara.
 
Kekuatan kapitalisme adalah pendorong utama dalam proses globalisasi. Kapitalisme menghendaki mengendaki pasar bebas agar pergerakan barang, jasa, tenaga kerja dan modal dapat melintasi batas-batas negara tanpa hambatan baik secara ekonomi maupun politik. Sehingga globalisasi pada intinya adalah suatu proses kegiatan ekonomi dimana negara-negara di seluruh dunia menjadi satu kekuatan pasar yang semakin terintegrasi.
 
Bahkan derajat globalisasi dari suatu negara di dalam perekonomian dunia dapat dilihat dari dua indikator ekonomi utama. Pertama, rasio dari perdagangan internasional (ekspor dan impor) dari negara tersebut sebagai suatu persentase dari jumlah nilai atau volume perdagangan dunia, atau besarnya nilai perdagangan luar negeri dari negara itu sebagai suatu persentase dari PDB-nya. Semakin tinggi rasio tersebut menandakan semakin mengglobal perekonomian dari negara tersebut. Sebaliknya, semakin terisolasi suatu negara dari dunia, seperti Korea Utara, semakin kecil rasio tersebut. Kedua, kontribusi dari negara tersebut dalam pertumbuhan investasi dunia, baik investasi langsung atau jangka panjang (penanaman modal asing; PMA) maupun investasi tidak langsung atau jangka pendek (investasi portofolio).[3] Pendapat ini menunjukkan bahwa globalisasi dapat direduksi sebagai masalah ekonomi pasar semata.
Aktor utama yang paling berkepentingan terhadap agenda globalisasi ekonomi adalah para kapitalis besar yaitu TNC dan MNC yang berkantor pusat di negara-negara industri maju. Perusahaan multinasional inilah yang menggerakkan dan menentukan besarnya PDB sebuah negara. Untuk mensukseskan agenda globalisasi ekonomi tersebut mereka menggunakan pemerintahan negara-negara maju, lembaga keuangan multilateral seperti IMF, World Bank, ADB dan organisasi perdagangan dunia seperti GATT, WTO,dan organisasi internasional lainnya seperti G7, G8, G20, untuk memainkan peran sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing.
 
Neoliberalisme merupakan idiologi kunci ke arah globalisasi ekonomi. Ini dikarenakan aturan negara merupakan hambatan yang paling utama dalam integrasi ekonomi. Dalam prakteknya neoliberalisme didesakkan oleh negara-negara maju untuk dilaksanakan di seluruh negara berkembang dan miskin. Mengingat dalam sudut pandang globalisasi sekarang ini, banyak aturan di negara berkembang yang masih membuka peluang campur tangan negara dalam perekonomian. Dalam garis pemikiran neoliberal intervensi negara dianggap sebagai penghambat lalu litas modal, barang dan manusia secara bebas. Kebijakan-kebijakan seperti proteksi, subsidi dan aturan lainnya yang menjadi distorsi bagi bekerjanya hukum ekonomi pasar bebas dipangkas. Melalui kebijakan neoliberal inilah maka semua negara menjalankan kebijakan liberalisasi, deregulasi dan privatisasi.
 
Meski demikian globalisasi seringkali melahirkan ketidak teraturan, sebagaima kebebasan yang dikendaki kapitalisme seringkali melahirkan persaingan yang saling mematikan. Akumulasi keuntungan yang terus-terus menerus dipastikan akan menimbulkan ketidakseimbangan. Itulah yang menyebabkan globalisasi selalu membuahkan krisis sebagaimana yang kita temukan sekarang ini. Liberalisai pasar keuangan telah melahirkan melahirkan krisis keuangan global yang dahsyat. Menghantam langsung ke jantung kapitalisme di Amerika Serikat, Uni Eropa dan Jepang. Krisis yang kemudian harus ditanggung tidak hanya oleh negara-negara maju sendiri, akan tetapi juga negara-negara miskin yang dipaksa untuk membuat stimulus ekonomi dalam mengatasi krisis.  Penomena krisis global menjelaskan bahwa globalisasi ternyata hanya akan membagikan beban krisis kepada negara-negara miskin.
 
Krisis selanjutnya menciptakan tekanan yang langsung terhadap klas pekerja. Saat krisis terjadi maka akan diringi dengan PHK massal baik di negara-negara induk kapitalisme maupun di negara-negara miskin yang terkoneksi. Meski tekanan yang dihadapi oleh buruh di negara-negara kaya jauh lebih ringan dikarenakan aturan ketenagakerjaan dan jaminan sosial (social protection) yang dijalankan oleh negara dengan baik.
 
Haluan Ekonomi Indonesia
 
Dalam hal pelaksanaan agenda-agenda ekonomi neolieberal, Indonesia merupakan potret negara yang sangat sukses. Sejak krisis ekonomi yang melanda indonesia tahun 1998, negara ini menjalankan sepenuhnya resep yang diajukan oleh IMF melalui letter of intent (LoI) sebagai syarat bagi bantuan keuangan yang diberikan.  Garis besar kebijakan yang tawarkan IMF tersebut adalah deregulasi dan privatisasi.
 
Selain itu, sejak era reformasi indonesia telah berhasil melakukan amandemen terhadap konstitusi UUD 1945 dan melahirkan berbagai UU di bidang migas, mineral dan batubara, keuangan dan UU investasi yang selaras dengan agenda globalisasi ekonomi. World Bank sebagai salah satu aktor utama dalam globalisasi ekonomi yang ikut membiayai berbagai peraturan perundangan tersebut, memberikan apresiasi besar atas keberhasilan Indonesia melakukan apa yang disebut sebagai reformasi ekonomi menuju haluan pasar bebas.
 
Keberhasilan pemerintahan SBY dalam mengolkan UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, membuka jalan yang semakin lapang bagi beroperasinya perusahaan multinasional dan transnasional di Indonesia. Melalui UU ini negara memberikan fasiltas dan insentif yang besar di bidang pertanahan, perpajakan dan perburuhan. Dengan lahirnya UU ini maka dapat dipastikan bahwa modal besar khususnya modal asing akan semakin dominan dalam perekonomian Indonesia.
 
Investasi di Indonesia adalah di Indonesia masih mengambil bentuk investasi kolonial. Sebagian besar adalah investasi luar negeri yang berasal dari negara-negara industri yang bertujuan untuk mencari sumber daya alam, bahan mentah. Umumnya investasi tersebut dibiayai oleh lembaga keuangan multilatelal IFC dan Miga (World Bank) dan perbankkan pemerintah negara-negara maju seperti JBIC (Jepang). Bahan mentah yang diperoleh negara-negara miskin tersebut selanjutnya mengalami pengolahan (industrialisasi) di negara maju.
 
Sangat jarang investasi luar negeri dinegara berkembang seperti Indonesia ditujukan dalam rangka pembangunan industri. Faktor itulah yang menyebabkan investasi yang cenderung padat modal tidak menyumbang bagi penyerapan tenaga kerja yang besar bagi Indonesia. Selain itu investasi yang berorientasi pada ekspor bahan mentah tidak menciptakan multiplier effect secara ekonomi yang luas. Yang terjadi justru sebaliknya adalah melahirkan diskrimination effect dan eksternalitas negatif yang besar baik karena kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya dan kerusakan sosial lainnya.
 
Kelebihan dari hasil industri yang tidak terserap oleh pasar di negara maju tersebut kemudian diekspor kembali ke negara-negara berkembang. Itulah mengapa liberalisasi perdagangan memiliki makna yang sangat penting. Pengahapusan proteksi baik hambatan tarif (tarrif barrier), hambatan non tarif (non tariff barrier) djalankan melalui organisasi perdagangan multilateral WTO, perundingan regional seperti APEC (Asia-Pacific Economic Cooperation ), AFTA (ASEAN Free Trade Area), dan perjanjian bilateral FTA (Free Trade Agreement),  merupakan strategi bagi pembukaan pasar negara-negara berkembang dalam rangka ekspansi perdagangan perusahaan-perusahaan multinasional.
 
Rezim perdagangan bebas tidak hanya menghendaki kelancaran dalam arus barang (free flow of goods), akan tetapi juga termasuk capital (free flow of capital), jasa-jasa (free flow of services), tenaga kerja (free flow of laboor) perlindungan hak kekayaan intelktual (intelektual proverty right). Sehingga lebih jauh lagi negara harus menetapkan aturan fleksibilitas pasar kerja, dimana tenaga kerja merupakan faktor produksi yang sama dengan faktor produksi lainnya yang bekerja dalam sistem pasar bebas.
 
Implikasi Perburuhan
 
Untuk memahami kautnya pengaruh globalisasi terhadap tenaga kerja di Indonesia, maka sebaiknya kita memahami terlebih dahulu masalah-masalah umum tenaga kerja di Indonesia dan tingkat kerentanannya pada perubahan situasi eksternal dan kebijakan nasional yang sesungguhnya diatur oleh aktor-aktor ekonomi global.
 
Data statistic menyebutkan jumlah tenaga kerja yang bekerja sebagai buruh/karyawan/pegawai di Indonesia hanya sebanyak 28,913 juta jiwa atau 27,67  persen dari seluruh tenaga kerja di Indonesia yang jumlahnya 104,485 juta jiwa. Jumlah pekerja tersebut didasarkan pada indikator meraka yang berekrja minimal satu jam per minggu. Selebihnya adalah tenaga kerja yang berusaha sendiri, pekerja tidak dibayar, pekerja bebas non pertanian, pekerja keluarga tak dibayar. [4]
 
Hasil studi IGJ menunjukkan dari jumlah tenaga kerja yang bekerja di sector formal sebanyak 48 persen bekerja dengan tingkat upah yang sangat rendah. Jika upah yang diperoleh didistribusikan kepada segenap anggota keluarga pekerja, maka masing-masing mendapatkan dibawah 1 US $ per hari. Dengan demikian maka separuh rumah tangga pekerja permanen berada dalam keadaan miskin.
 
Di Batam sebagian besar tenaga kerja bekerja dengan tingkat kerentanan yang tinggi terhadap PHK. Antara tahun 2003 - 2005 jumlah kasus PHK yang terjadi di Batam mencapai 2000 kasus (IGJ, 2006). Selain itu, pekerja bekerja dengan tingkat upah yang relative rendah dibandingkan dengan upah pekerja asing Sementara itu pekerja asing yang jumlahnya hanya  1,3 persen dari jumlah buruh mendapatkan 26,7 persen upah yang dibayarkan oleh seluruh industri di Batam (IGJ, 2006). Data lainnya menyebutkan para pekerja asing rata-rata bergaji 1.500 dollar Singapura (setara Rp 9,8 juta) per bulan sedangkan pekerja lokal rata-rata mendapatkan Rp 1,1 juta per bulan.(OPSI, 2010). Angka ketergantungan (dependence ratio) di batam mencapai 3.26, angka ini relative tinggi dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia yang merupakan idikasi bahwa tingkat pengangguran juga tinggi.
 
Keadaan tenaga kerja di Indonesia dapat disimpulkan mengalami masalah yang sangat sulit. Problem utama seperti besarnya pengangguran, rendahnya upah, lemahnya perlindungan terhadap pekerja, merupakan masalah yang tidak pernah terselesaikan secara nasional. Bahkan masalah yang satu menjadi penyebab dari penindasan yang lain. Sebagai contoh, besarnya pengangguran menjadi dasar diberlakukan upah rendah. Bahkan lebih gila lagi menjadi legitimasi diberlakukannya sistem kerja kontrak outshorsing yang sangat menekan pekerja.
 
Masih diletakkanya tenaga kerja sebagai faktor keunggulan komparatif (berdasarkan theory of comparative advantage David Ricardo) dalam rangka menyerap investasi, maka akan semakin memperdalam struktur penindasan terhadap buruh Indonesia. Dengan tingkat upah yang berlaku saat ini saja, sangat sulit bagi buruh untuk menghidupi dirinya dan anggota keluarganya. Lebih jauh lagi pekerja Indonesia tidak memiliki kesempatan untuk mengembangkan diri.
Masalah yang dihadapi tenaga kerja merupakan bagian dari buruknya situasi ekonomi secara keseluruhan yang dihadapi Indonesia. Kebijakan investasi, perdagangan dan keuangan yang mengabdi pada kepentingan modal asing menjadi sebab perekonomian Indonesia tidak berkembang dalam corak produksi yang lebih maju. Kedaan ini pula yang menyebabkan praktek pengurusan masalah-masalah ketenagakerjaan juga masih menggunakan paham-paham tua yang telah lama ditinggalkan oleh negara-negara lain.
           
Jalan Keluar    
           
Berbagai kebijakan rezim global telah menimbulkan implikasi langsung dan tidak langsung nagi buruh. Investasi kolonial, liberalisasi perdagangan, utang luar negeri yang besar adalah masalah pokok dalam ekonomi Indonesia yang mesti menjadi fokus perhatian kaum buruh. Masalah-masalah tersebut merupakan penyebab utama dari buruknya regulasi dan kondisi perburuhan.
 
Masalah-masalah seperti kelangkaan kesempatan kerja dan rendahnya tingkat upah berakar dari gagalnya negara ini dalam mengembangkan industrinya. Investasi luar negeri sebagian besar hanya berorientasi pada eksploitasi sumber daya alam dan pabrik-pabrik yang memproduksi barang yang bernilai tambah rendah. Hal ini dikarenakan sebagian besar bahan bakunya diimpor dari luar negara-negara maju. saat ini lebih dari 70 persen impor yang terjadi Indonesia adalah impor bahan baku, sisanya adalah barang modal dan barang konsumsi.       Ine Minara Ruki (2007) menyatakan bahwa Indonesia mengalami de-Industrialisasi negatif yang artinya mengalami perekonomian indonesia mengalami de industrialisasi sebelum dapat mencapai Industrialisasi.
 
Pengalaman industrialisasi di sebagian besar negara di dunia, dimulai dengan pembangunan pertranian. Surplus pertanian yang besar menjadi modal bagi suatu negara untuk mengembangkan Industrinya. Induistrialisasi tidak dapat diharapkan terjadi melalui investasi luar negeri. Untuk menghasilkan suplus pertanian yang besar maka harus ada upaya mendasar yang dilakukan oleh negara untuk melakukan reforma agraria dalam dua hal menyediakan akses terhadap alat produksi seperti tanah, modal dan tehnologi dan ilmu pengetahuan, dan menjamin pendapatan yang layak bagi kaum tani melalui subsidi dan perlindungan dari persaingan global yang tidak adil.
 
Dalam kerangka mewujudakn industrialisasi nasional maka ketersediaan sumber-sumber energi merupakan unsur yang sangat penting. Selama ini kelangkaan energi baik energi primer maupun listrik adalah masalah yang sehari-hari dialami oleh para pelaku usaha dan masyarakat. Padahal indonesia adalah negara yang sangat kaya akan sumber sumber energi. Indonesia adalah negara pengekspor gas terbesar di dunia, pengekspor batubara terbesar setelah Australia, akan tatapi negara gagal memenuhi kebutuhan energi di dalam negeri. banyak industri mengalami kebangkrutan dikarenakan tidak mendapat pasokan energi. Demikian pula PLN yang dipaksa menjual listrik dengan harga yang sangat mahal dikarenakan gas dijual ke luar negeri dengan harga yang sangat murah.
 
Untuk hal tersebut maka negara harus memiliki agenda untuk melepaskan diri dari belenggu kekuatan global yang sifatnya merugikan kepentingan ekonomi nasional. Selama ini belenggu tersebut disebabkan oleh utang luar negeri yang besar. Utang tidak hanya membebani anggaran negara dan mengurangi anggaran bagi sektor publik akan tetapi juga menekan secara politik. Munculnya berbagai peraturan perundang-undangan yang merugikan kepentingan nasional harus diakui merupakan proyek hutang luar negeri. Sehingga agenda penghapusan utang merupakan program prioritas yang harus diperjuangkan oleh negara sebagai bagian dari strategi mewujudkan kemadirian ekonomi.
 
Terpenting dari semua itu adalah pelaksanaan ekonomi di dalam negeri dengan cara-cara yang demokratis. Pemerintah harus mendengar pendapat publik dalam setiap keputusan politik yang diambil. Hasil perundingan perdagangan bebas, baik WTO maupun FTA harus melalui ratifikasi parlemen. Selain itu negara harus membuat mekanisme konsultasi publik dalam proses pengambilan keputusan yang sifatnya strategis, dengan melobatkan pihak-pihak yang tekena dampak langsung dari kebijakan globalsiasi ekonomi, sepereti kaum buruh, petani dan kelompok masyarakat miskin. Sehingga demokrasi yang dibangun tidak hanya merupakan demokrasi politik akan tetapi perwujudan dari demokrasi ekonomi sebagaimana yang diamatkan oleh kostitusi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar