Globalisasi Politik
Analisis Daniel Bell (1995) mengenai globalisasi dalam pengantar bab V buku globalization, cukup menarik, bahwa negara menjadi sangat kecil untuk masalah kehidupan yang besar, dan terlalu besar untuk masalah kehidupan yang kecil.[2] Atau Ayu Utami (2001) mengungkapkan dalam Larung bahwa …
Malcolm (1995) menungkapkan bahwa ada lima ide dasar mengenai globalisasi. Ide-ide tersebut adalah kedaulatan negara, proses penyelesaian masalah, organisasi internasional, hubungan internasional dan budaya politik. Kelima ide tersebut berhubungan dengan dimensi material pada suatu peningkatan dan saling berhubungan diantara unit-unit ekonomi yang terpisah dari masyarakat.
Kedaulatan negara merupakan ide dari proses transformasi bentuk negara di dunia. Ide ini dimulai dari tingkatan non politik, hubungan antar masyarakat sampai kebutuhan untuk mengeksiskan sumberdaya di sebuah negara dan kemungkinan pergantian konsep pemerintahan. Peningkatan hubungan ekonomi dan kebudayaan antar negara mengurangi kekuasaan dan keaktifan pemerintah pada tingkat negara-bangsa dan pemerintahan. Sehingga pemerintah tidak dapat lagi menghegemoni pemikiran dan bentuk-bentuk perekonomian pada wilayahnya. Akhirnya instrumen-instrumen yang telah dibangun pemerintah menjadi tidak efektif.
Kekuatan demokrasi (yang dipahami sebagai kekuatan massa) memakai media partai sebagai corong pembelaan ideologinya. Partai sendiri mencoba untuk mengatur kesejahteraan anggota partainya masing-masing. Untuk itu perlu stabilitas politik yang mantap. Konsep stabilitas politik yang mantap, bukan hanya trade mark penganut Rostowian, fenomena negara-negara komunis pun menunjukkan hal yang serupa.[3] Sebagai langkah taktis maka negara telah membuat beberapa kerangka kebijakan.[4] Kebijakan tersebut dijabarkan oleh Waters (1995) menjadi pertama pembangunan kapasitas negara itu sendiri, sehingga pemberdayaan swasta menjadi sektor yang penting. Di titik ini negara hanya berperan untuk mancerdaskan masyarakatnya dengan melakukan pendidikan politik. Kedua tempat atau kekuasaan negara menjadi tersembunyi dibalik kekuasaan para birokrat. Ketiga intervensi dari negara cenderung merusak kestabilan dan mekanisme pasar. Keempat negara tidak mampu lagi memberikan kemanan seperti terorisme, sindikat obat-obatan, AIDS dan lingkungan. Kelima Dengan persekutuan internasional, negara menjadi lebih berbahaya dari keamanan. Hal ini membagi dunia kepada permusuhan dimana komitmen pengadaan teknologi militer mempunyai satu tujuan.
Globalisasi politik ini menjadikan negara mengalami disetisasi atau pelemahan negara. Kelompok pendukung negara mulai melokal. Komunitas perdagangan menjadi mengecil dan digantikan oleh kepentingan lokal dan menjadi inisiatif warga negara.
Akibat globalisasi, ada beberapa masalah yang dulu dianggap lokal menjadi masalah global. Isu masalah ini sangat sensitif dan krusial, sehingga sering kali mengundang intervensi dari suatu negara ke negara lain. Padahal setiap negara mempunyai hak yang absolut untuk menentukan otonomi dari suatu negara.
Masalah hak-hak manusia (atau disebut dengan etatocentric) akan membawa dan mengangkat kemampuan manusia untuk melawan kedaulatan negara. Pelembagaan etatosentrik dari legal secara politik sampai kepada ekonomi telah memberikan kesempatan kepada porsi nilai-nilai kemanusiaan dalam pembangunan. Dalam posisi ini negara harus tunduk kepada beberapa konvensi hak asasi manusia dan beberapa turunannya dalam konvensi hak PBB. Implikasinya, sebuah negara harus bersikap demokratis dan siap untuk merubah beberapa kebijakan yang melanggar etatosentrik. Internasionalisasi etatosentrik lebih cenderung mengambarkan keberpihakan politik negara maju kepada negara dunia ketiga.
Isu lingkungan hidup menggambarkan kecemasan dunia barat terhadap ‘perilaku’ negara dunia ketiga dalam mengeksplorasi sumber dayanya. Pemanasan global, polusi, efek rumah kaca dan kelangkaan flora fauna dijadikan komoditas politik negara maju dalam mengatur kebijakan politik dan ekonomi negara dunia ketiga. Sebuah bantuan (baca : hutang) luar negeri negara dunia ketiga, acap kali dibumbui proposal lingkungan hidup (termasuk demokratisasi tentunya) dengan versi negara investor. Standarisasi ini menjadikan negara dunia ketiga menjadi tidak independen dalam menentukan sikap politik negara masing-masing.
Isu lingkungan hidup menggambarkan kecemasan dunia barat terhadap ‘perilaku’ negara dunia ketiga dalam mengeksplorasi sumber dayanya. Pemanasan global, polusi, efek rumah kaca dan kelangkaan flora fauna dijadikan komoditas politik negara maju dalam mengatur kebijakan politik dan ekonomi negara dunia ketiga. Sebuah bantuan (baca : hutang) luar negeri negara dunia ketiga, acap kali dibumbui proposal lingkungan hidup (termasuk demokratisasi tentunya) dengan versi negara investor. Standarisasi ini menjadikan negara dunia ketiga menjadi tidak independen dalam menentukan sikap politik negara masing-masing.
Kebutuhan akan agenda dan masalah bersama di antara negara-negara di dunia mengerucut kepada ide untuk membentuk organisasi internasional. Konsensus dari organisasi internasional ini telah membawa kesadaran kolektif beberapa negara tehadap permasalahan yang dihadapinya. Sebuah pembangunan di kawasan akan berhadapan dengan perbedaan budaya, kebutuhan dan cara pandang suatu negara terhadap sikap sosial, politik, ekonomi, budaya sampai pertahanan dan kemanan. Komunitas professional juga mempunyai kebutuhan bersama terhadap ratifikasi traktat atau konvensi yang diberikan oleh PBB. Pada akhirnya, jaringan organisasi ini lebih mudah untuk digunakan dari pada kemampuan kekuatan diplomatik antara negara.
Fenomena cukup menarik ditunjukkan bahwa globalisasi politik berimplikasi pada model hubungan internasional, secara spesifik dengan globalisasi tiga dunia (kapitalis, sosialis maupun dunia ketiga) dapat bersatu. Perang dingin telah menjadi sejarah, dan kepentingan untuk membentuk dunia baru telah menjadi kepentingan bersama. Interpretasi dari analisis ini ditunjukkan Waters (1995). Pertama pembangunan liberalisasi demi menunjukkan meleburnya kekuatan super power (pasca Soviet). Kedua Kemenangan USA dalam perang dingin dan perang di Kuwait (dan terbaru di Afghan) merupakan kombinasi antara negara adi daya militeristik dengan negara yang kuat pendanaan. Ketiga kepentingan dunia yang multipolar telah berganti menjadi model hubungan internasional.[5]
Analisis budaya politik dibangun oleh Fukuyama (1992) dan Huntington (1991). Nilai dan budaya politik akhirnya mengerucut kepada kebutuhan akan kesamaan cara pandang dalam memahami hubungan antar negara. Implikasinya setiap negara kembali menguatkan tradisi nasionalnya agar tetap mampu bersaing dalam dunia global.
Soros (2001) menilai kekuatan budaya negara dan bangsa seperti etika confusian akan memenangkan pertarungan dalam globalisasi ini.[6] Namun pertarungan antara kepentingan pribadi dan kapitalis akan berhadapan dengan kepentingan bangsa atau kepentingan publik. Di sinilah perdebatan antara kapitalisme dan demokrasi.[7] Untuk itu perlu kombinasi yang kuat antara system kapitalisme dengan nilai demokrasi sebuah negara. Hegemoni negara adi daya yang akan memainkan peran ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar