Bookmarks

Sabtu, 22 Oktober 2011

Globalisasi ekonomi

Globalisasi Ekonomi dan Ekspor
Usaha Kecil  dan Menengah Indonesia

Tulus Tambunan
LP3E-Kadin Indonesia

ABSTRAKSI
Globalisasi dari sisi ekonomi adalah suatu perubahan dunia yang bersifat mendasar atau struktural dan akan berlangsung terus dalam Iaju yang semakin pesat sesuai dengan kemajuan teknologi. Dalam era globalisasi peran transportasi dan komunikasi sangat penting, yang dapat menyebabkan terjadinya penipisan batas-batas antar negara ataupun antar daerah di suatu wilayah.
Era globalisasi membuka peluang sekaligus tantangan bagi pengusaha Indonesia termasuk usaha kecil, karena pada era ini daya saing produk sangat tinggi, live cycle product relatif pendek mengikuti trend pasar, dan kemampuan inovasi produk relatif cepat. Ditinjau dari sisi ekspor, liberalisasi berdampak positif terhadap produk tekstil/pakaian jadi , akan tetapi kurang menguntungkan sektor pertanian khususnya produk makanan.
Kinerja ekspor UKM lebih kecil dibandingkan dengan negara tetangga seperti malaysia, Filipina dan UKM, baik dalam hal nilai ekspor maupun dalam hal divesifikasi produk. Ini menunjukkan ekspor produk UKM Iebih terkonsentrasi pada produk tradisional yang memiliki keunggulan komparatif seperti pakaian jadi, meubel.
Mengingat ketatnya persaingan yang dihadapi produk ekspor Indonesia termasuk UKM, maka Indonesia mengambil langkah-langkah strategis, baik jangka panjang maupun jangka pendek. Langkah-langkah strategis jangka panjang diantaranya diarahkan untuk mengembangkan sumber daya manusia, teknologi dan jaringan bisnis secara global. Sedangkan langkah-langkah strategis jangka pendek diantaranya, melakukan diversifikasi produk, menjalin kerjasama dengan pemerintah dan perusahaan besar, produksi, memperkuat akses ke sumber-sumber informasi dan perbaikan mutu.   

Fenomena Globalisasi Ekonomi
Tidak ada definisi yang baku atau standar mengenai globalisasi, tetapi secara sederhana globalisasi ekonomi dapat diartikan sebagai suatu proses dimana semakin banyak negara yang terlibatdalam kegiatan ekonomi dunia. Jadi, jika pada periode sejak perang dunia kedua berakhir hingga tahun 1970-an ekonomi dunia didominasi oleh ekonomi Amerika Serikat (AS), sekarang ini walaupun produk domestik bruto (PDB) AS masih besar yakni sekitar 45% dari PDB dunia, peran dari ekonomi Uni Eropa, Jepang dan negara-negara yang tergolong dalam newly industrialized countries (NICs), seperti Korea Selatan, Taiwan,  Singapura, dan Cina jauh lebih kuat sebagai motor penggerak perekonomian dunia. Semakin mengglobalnya suatu negara di dalam perekonomian dunia dapat dilihat, misalnya dari  peningkatan  perdagangan internasionalnya (ekspor dan impor) yang tercerminkan antara lain pada peningkatan pangsa ekspornya di pasar global dan peningkatan rasio impor terhadap PDB-nya; semakin aktif terlibat dalam proses produksi yang melibatkan banyak negara (misalnya dalam membuat pesawat Boeing lebih dari 50 negara terlibat yang masing-masing membuat bagian-bagian tertentu dari pesawat tersebut, atau dalam membuat pesawat Airbus, sejumlah negara Eropa terlibat dalam proses pembuatannya), dan semakin besar arus investasi asing yang masuk ke negara tersebut atau semakin besarnya investasi dari negara tersebut ke negara-negara lain.
Jadi, proses globalisasi dari sisi ekonomi adalah suatu perubahan di dalam perekonomian dunia, yang bersifat mendasar atau struktural dan akan berlangsung terus dalam laju yang semakin pesat, mengikuti kemajuan teknologi yang juga prosesnya semakin cepat. Perkembangan ini telah meningkatkan kadar hubungan saling ketergantungan dan juga mempertajam persaingan antar negara, tidak hanya dalam perdagangan internasional tetapi juga dalam kegiatan investasi, finansial dan produksi. Globalisasi ekonomi ditandai dengan semakin menipisnya batas-batas kegiatan ekonomi atau pasar secara nasional atau regional, tetapi semakin mengglobal menjadi “satu” proses yang melibatkan banyak negara. Dalam tingkat globalisasi yang optimal arus produk dan faktor-faktor produksi lintas negara atau regional akan selancar lintas kota di suatu negara atau desa di dalam suatu kecamatan. Pada tingkat ini, seorang pengusaha yang punya pabrik di Kalimantan Barat setiap saat bisa memindahkan usahanya ke Serawak atau Filipina tanpa ada halangan, baik halangan logistik maupun halangan birokrasi dari pihak pemerintah Malaysia atau Filipina maupun dari pemerintah Indonesia dalam urusan administrasi seperti izin dan sebagainya.
Semakin menipisnya batas-batas kegiatan ekonomi secara nasional maupun regional disebabkan oleh banyak hal, diantaranya menurut Halwani (2002) adalah komunikasi dan transportasi yang semakin canggih dan murah, lalu lintas devisa yang semakin bebas, ekonomi negara yang semakin terbuka, penggunaan secara penuh keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif tiap-tiap negara, metode produksi dan perakitan dengan organisasi manajemen yang semakin efisien,  dan semakin pesatnya perkembangan perusahaan multinasional di hampir seantero dunia. Selain itu, penyebab-penyebab lainnya adalah semakin banyaknya industri yang bersifat footloose akibat kemajuan teknologi (yang mengurangi pemakaian sumber daya alam), semakin tingginya pendapatan  rata-rata per kapita, semakin majunya tingkat pendidikan mayarakat dunia, ilmu pengetahuan dan teknologi di semua bidang, dan semakin banyaknya jumlah penduduk dunia.

Dampak dari Globalisasi
Dampak nyata dari globalisasi terhadap perekonomian Indonesia adalah terutama pada dua area yang saling mempengaruhi satu sama lainnya, yakni produksi dalam negeri dan perdagangan luar negeri. Globalisasi yang didorong oleh era perdagangan bebas dan liberalisasi pasar finansial dunia bisa berpengaruh negatif atau positif terhadap produksi dalam negeri. Pengaruh negatif bisa disebabkan oleh barang impor yang semakin menguasai pasar domestik sehingga mematikan produksi dalam negeri atau menurunkan ekspor Indonesia karena daya saingnya rendah.Turunnya ekspor bisa berdampak negatif  terhadap produksi dalam negeri jika sebagian besar dari barang-barang yang dibuat di dalam negeri untuk tujuan ekspor, atau karena kurangnya dana untuk membiayai proses produksi yang disebabkan oleh berkurangnya devisa dari hasil ekspor. Sebaliknya, jika Indonesia mempunyai daya saing yang baik, maka liberalisasi perdagangan dunia membuka peluang yang besar bagi ekspor Indonesia, yang berarti ekspor meningkat dan selanjutnya mendorong pertumbuhan dan memperluas diversifikasi produksi di dalam negeri.   
Sudah cukup banyak studi yang melakukan simulasi-simulasi mengenai dampak dari liberalisasi perdagangan terhadap negara-negara yang terlibat, misalnya terhadap perubahan output dan ekspor. Diantaranya dari UNCTAD (1999) yang hasil simulasinya terhadap sejumlah negara-negara Asia termasuk Indonesia sebagai sampel penelitian, menunjukan bahwa perdagangan terhadap pertumbuhan ekspor Indonesia adalah yang paling kecil setelah Turkey (Tabel 1). Walaupun, studi ini tidak terlalu spesifik mengenai dampak terhadap ekspor secara sektoral, hasilnya memberikan suatu indikasi bahwa Indonesia mempunyai banyak masalah, baik dari sisi suplai (seperti keterbatasan kapasitas produksi dan infrastruktur) maupun sisi permintaan (seperti kualitas) dibandingkan negara-negara lain sehingga Indonesia tidak (belum) bisa mengoptimalisasikan keuntungan dari liberalisasi perdagangan dunia (WTO) atau regional (AFTA atau APEC).

Tabel 1 Pertumbuhan Ekpor Setelah Liberalisasi Perdagangan Luar Negeri (PLN) di Indonesia dan Beberapa Negara  Asia Lainnya (%)

Negara
Tahun dari
liberalisasi  PLN
Dua Tahun Pertama setelah liberalisasi PLN
Sepuluh Tahun Berikutnya
Setelah Liberalisasi PLN
Indonesia
Malaysia
Filipina
Thailand
Turkey

1986
1988
1986
1986
1989

2
18
15
31
5

13
18
15
17
11

                                                                                                                                   Sumber: UNCTAD (1999)

Studi lainnya adalah dari Feridhanusetyawan dan Pangestu yang mengevaluasi bentuk-bentuk liberalisasi perdagangan yang berbeda yang dilakukan oleh Indonesia selama ini sejak tahun 1980an, dengan menggunakan suatu kerangka CGE global (Global Trade Analysis Project). Feridhanusetyawan dan Pangestu membagi ekonomi dunia kedalam 19 wilayah dan 12 sektor seperti yang dapat dilihat di Tabel 5 dan Tabel 6. Liberalisasi perdagangan membuat realokasi dari sumber daya produksi lebih baik, yang terrefleksikan di dalam perubahan-perubahan dari pola produksi dan ekspor sektoral. Tabel 5 memperlihatkan perkiraan dampak dari liberalisasi perdagangan terhadap komposisi output di Indonesia, yang dinyatakan dalam perbedaan-perbedaan persentase dari hasil-hasil tanpa liberalisasi. Tabel 6 memperlihatkan data mengenai dampak dari liberalisasi perdagangan terhadap nilai dari ekspor. Secara umum, hasil-hasil simulasi mereka menunjukkan bahwa dalam semua skenario  liberalisasi perdagangan, sumber daya produksi pindah menuju sektor tekstil dan pakaian jadi, yang mana output dari industri-industri di sektor ini diproyeksikan naik  100% atau lebih. Ekspor dari produk-produk ini diperkirakan naik senilai US$12-14 miliar, yang kurang lebih sama dengan semua kenaikan dari jumlah ekspor Indonesia.
Di sektor pertanian, output dari padi/beras dan komoditi pertanian non-biji-bijian diperkirakan turun sebesar 0,9% (padi/beras, skenario 1) ke 3,3% (non-biji-bijian, skenario 2b). Di sisi lain, dengan memasukkan pertanian di dalam AFTA, Indonesia menjadisuatu negara penting penghasil biji-bijian di ASEAN, dan outputnya diperkirakan naik dengan sekitar 28%. Dalam skim liberalisasi ini (skenario 2b), ekspor biji-bijian Indonesia rata-rata per tahun diperkirakan naik sebesar US$271 juta. Ekspor dari komoditi-komoditi pertanian ke ASEAN dari negara-negara eksportir tradisional seperti Australia dan AS diperkirakan akan turun jika tarif impor untuk ekspor pertanian dari negara-negara ASEAN lainnya diturunkan dalam konteks AFTA. Walaupun tidak terlalu nyata, output dari hewan hidup juga diperkirakan naik dengan 0,6% hingga 1,0%. Ekspornya diperkirakan naik dengan US47 juta dalam skenario 2b dan dengan US$23-27 juta dalam skenario-skenario lainnya.


Tabel 5  Dampak dari Bentuk-Bentuk Liberalisasi Perdagangan terhadap Output Indonesia (% Perubahan)*

Komoditas
Hanya putaran Uruguay (UR)
UR +
Unilateral
Oleh
Indonesia
Skenario I
AFTA
APEC
TP**
Sk.2a
DP**
Sk.2b
TP
Sk.3a
DP
Sk.3b
Beras
Biji-bijian
Bukanbijibijian
Hewan
Kehutanan
Perikanan
Pertambangan
Makanan
Tekstil & pakaian jadi
Olahan lainnya
Minyak, batu bara & kimia
Jasa-jasa

-1,5
-0,9
-2,5
0,6
-7,2
-5,0
-18,8
-1,51
117,6
-8,8
-2,1
0,1

-0,9
0,9
-2,7
1,0
-6,8
-4,6
-17,9
-1,0
106,7
-8,5
-1,0
0,2

-1,5
-0,9
-2,5
0,6
-7,4
-2,1
-19,1
-1,5
117,8
-9,0
-2,2
0,1

-1,8
27,9
-3,3
1,0
-7,6
-2,3
-19,2
-1,9
117,0
-9,3
-2,4
0,0

-1,0
-0,4
-2,1
0,8
-7,2
-4,0
-16,1
-1,0
100,3
-9,2
-0,8
0,2

-1,3
1,3
-2,1
0,9
-7,0
-3,9
-16,0
-1,3
99,7
-9,0
-0,8
0,2

Keterangan: *: hasil yang merefleksikan dampak dengan penghapusan  the Multi Fibre Arrangement (MFA); ** TP = tanpa pertanian; DP = dengan pertanian. Sumber: Feridhanusetyawan dan Pangestu (2003).

Tabel 6 Dampak dari Liberalisasi Perdagangan terhadap Ekspor Indonesia (juta US$)*

Komoditas
Hanya putaran Uruguay (UR)
UR +
Unilateral
Oleh
Indonesia
AFTA
APEC
TP**
DP**
TP
DP
Beras
Biji-bijian
Bukanbijibijian
Hewan
Kehutanan
Perikanan
Pertambangan
Makanan
Tekstil & pakaian jadi
Olahan lainnya
Minyak, batu bara & kimia
Jasa-jasa

Perubahan total dalam
ekspor (juta US$)

Perubahan saham dari
ekspor total (%)

Perubahan dalam neraca perdagangan (juta US$)


0
4
703
27
-2
-162
-2.636
-106
14.108
1.601
318
-174

13.682


36,7


434,5

0
3
678
23
-2
-167
-2.669
-136
12.817
841
93
-209

11.272


30,2


427,7

0
4
697
27
-2
-58
-2.280
-98
14.138
1.557
307
-181

13.711


36,8


447,9

0
271
642
47
-2
-61
-2.691
-143
14.066
1.512
287
-186

13.743


36,9


517,8

0
4
703
26
1
-144
-2.404
-147
12.216
698
136
-159

10.930


29,3


433,2

0
4
738
26
2
-137
-2.393
-178
12.192
725
140
-157

10.963


29,4


453,5

Keterangan: *: hasil yang merefleksikan dampak dengan penghapusan  the Multi Fibre Arrangement (MFA); ** TP = tanpa pertanian; DP = dengan pertanian. Sumber: Feridhanusetyawan dan Pangestu (2003).


Simulasi lainnya dengan memakai teknik CGE adalah dari Gilbert dkk (1999). Yang menggunakan 3 skenario yakni liberalisasi most-favoured-nation (MFN) tanpa keharusan timbal balik (non-diskriminasi non-kondisional) (A), preferential APEC free trade area (B), dan liberalisasi MFN dengan keharusan timbal balik (non-diskriminasi kondisional) (C), mereka. memprediksi dampak dari liberalisasi perdagangan dunia terhadap beberapa subsektor pertanian, diantaranya subsektor makanan (Tabel 4). Dapat dilihat bahwa untuk semua skenario tersebut, liberalisasi perdagangan makanan tidak menguntungkan Indonesia, berbeda dengan yang diperkirakan dan dialami oleh tiga negara ASEAN lainnya yakni Malaysia, Filipina dan Thailand.


Wilayah/Negara
A
B
C
USS
%
US$
%
US$
%
Australia
Selandia Baru
Jepang
Korea Selatan
Indonesia
Malaysia
Filipina
Thailand
RRC
Kanada
AS
Meksiko
Negara APEC lainnya
Eropa
Sisa dari dunia
Negara Berkembang APEC
Negara Maju APEC

Total APEC
Dunia

3,91
1,60
34,02
-1,42
-0,40
3,85
1,66
6,66
7,46
1,09
7,81
0,60
4,44
-11,53
9,68
24,27
47,01

71,28
69,43

0,91
2,29
0,57
-0,23
-0,12
2,80
1,84
2,09
0,61
0,17
0,10
0,16
0,70
-0,12
0,17
0,78
0,30

0,38
0,20

6,00
3,82
22,39
-2,24
-0,38
2,41
1,22
6,61
-0,90
0,86
11,64
0,45
3,72
-8,51
4,21
13,13
42,47

55,60
51,30

1,39
5,48
0,38
-0,37
-0,11
1,75
1,35
2,08
-0,07
0,13
0,14
0,12
0,59
-0,09
0,07
0,42
0,27

0,29
0,15

6,35
5,89
29,72
-1,83
-0,35
8,69
1,47
9,67
6,89
1,66
25,80
0,40
18,23
16,47
5,51
45,00
67,59

112,59
134,57

1,47
8,44
0,50
-0,30
-0,10
6,33
1,63
3,04
0,56
0,26
0,32
0,10
2,89
0,17
0,10
1,44
0,43

0,59
0,39

Sumber: Gilbert dkk (1999).


Kinerja Ekspor UKM Indonesia

Hingga saat ini industri kecil dan menengah atau usaha kecil menengah (UKM) Indonesia masih lemah dalam ekspor, terutama dibandingkan dengan UKM di negara-negara Asia lainnya seperti Malaysia, Thailand, Singapura dan Korea Selatan; tidak hanya dilihat dari pangsa ekspor rata-rata per tahun, tetapi juga dalam diversifikasi produk dan kandungan teknologi dari produk-produknya. Data perdagangan luar negeri Indonesia menunjukkan bahwa selama ini nilai ekspor dari (UKM) sangat kecil jika dibandingkan dengan nilai ekspor total dari non-migas atau nilai ekspor total dari sektor industri manufaktur, walaupun pertumbuhannya selama dekade 80-an hingga 90-an menunjukkan suatu tren yang positif. Seperti yang dapat dilihat di Gambar 1, selama periode 1993-1997, nilai ekspor dari (UKM) mengalami pertumbuhan  rata-rata per tahun sekitar 8% . Suatu kenaikan yang signifikan terjadi antara tahun 1997-1998, tepatnya pada saat krisis ekonomi mencapai titik terburuknya, yakni dari US$2,5 miliar ke US$3,7 miliar, atau suatu kenaikan lebih dari 140%. Sedangkan, dalam periode yang sama, nilai ekspor total dari non-migas mengalami suatu penurunan, yang merefleksikan terjadinya kontraksi dalam produksi dan ekspor dari kelompok industri/usaha skala besar karena banyak dari mereka mengalami kesulitan finansial semasa krisis.
Tingkat diversifikasi ekspor dari (UKM) juga rendah, terkonsentrasi hanya pada sejumlah produk saja dan hanya melayani beberapa pasar saja. Tingkat diversifikasi produksi yang relatif rendah ini memberi kesan bahwa (UKM) hanya berspesialisasi pada produk-produk  tradisional yang memiliki keunggulan komparatif seperti pakaian jadi dan beberapa produk tekstil lainnya (TPT), barang-barang jadi dari kulit seperti alas kaki, dan dari kayu, termasuk meubel. Dengan memakai data dari BPS, Berry dkk. (2001) menunjukkan bahwa dari nilai ekspor total (UKM) pada tahun 1999, tekstil, pakaian jadi, dan sepatu secara bersama memiliki saham sebesar 27,0%, produk-produk dari kayu 22,0%, dan mesin-mesin dasar sekitar 16,0% (Gambar 2).
Struktur ekspor dari usaha kecil (UKIndonesia dengan cakupan kelompok barang yang lebih luas bisa dilihat di Tabel 5. Pakaian jadi merupakan produk ekspor unggulan UK, yang nilai ekspornya selama periode yang diteliti cenderung mendekati satu (1) miliar dollar AS; kemudian disusul oleh barang-barang kerajinan dari kayu dan kulit. Di Tabel ini tidak termasuk misalnya mesin, peralatan transportasi dan komponen-komponen elektronik dan otomotif, karena memang UKM, khususnya UK, masih relatif lemah dalam produksi barang-barang berteknologi menengah ke atas seperti tersebut di atas. 
Thee (1993) berpendapat bahwa, dilihat dari sisi teknologi dan penyesuaian terhadap kebutuhan pasar, pertumbuhan ekspor dari UKM selama ini dapat tercapai karena kemampuan para pengusaha kecil dan menengah dalam menemukan celah-celah pasar yang masih ada lowongan dan menyesuaikan biaya produksi dan kualitas terhadap permintaan pasar. Sementara itu,Berry dkk. (2001) menegaskan bahwa pertumbuhan tersebut tidak

Gambar 1. Kinerja Ekspor dar UKM. 1993 – 1998 (US$ miliar)

               50


           40



Total Nilai ekspor ( non-migas)
 
               30


             20


              10
Nilai ekspor dari UKM
 
 


              0
                     1993            1994                 1995                1996               1997               1998
     Sumber urata (2000) and BPS

diragukan merefleksikan suatu peningkatan saham yang pesat dari output UKM yang dieskpor, yang kebanyakan secara tidak langsung lewat sistem subcontracting dengan perantara-perantara komersial seperti perusahaan eksportir atau perdagangan.
MemangBerry dkk. (2001) berpendapat bahwa lewat sistem kemitraan seperti ini dengan usaha besar yang jauh lebih pengalaman dalam kegiatan ekspor atau yang sudah mempunyai jaringan bisnis global dengan pembeli-pembeli di luar negeri merupakan salah satu cara yang efektif bagi pengembangan dan pertumbuhan ekspor dari UKM. Mereka menemukan bahwa lewat carapemasaran luar negeri seperti ini lebih banyak ditemukan di subsektor-subsektor produk-produk dari rotan dan kayu (khususnya meubel) dan pakaian jadi, sedangkan di industri produk-produk dari logam dan elektronik masih relatif sedikit.
Di dalam kelompok APEC, Indonesia dan Chile adalah dua negara anggota di mana peran UKM-nya di dalam ekspor paling kecil. Paling tidak ini menurut data yang ada dari Sekretariat APEC, walaupun tetap ada keraguan mengenai kebenaran dari data tersebut dan adanya masalah dalam membandingkan data antarnegara anggota karena perbedaan dalam misalnya pengumpulan data kotor dan penghitungan data akhir. Dari semua negara anggota, diperkirakan rata-rata IKM menyumbang 30% terhadap nilai ekspor total. Indonesia sendiri, sumbangan UKM-nya terhadap ekspor total Indonesia pada tahun 1996 hanya 5% dan tahun 2000 4%. Australia dan Cina adalah dua negara anggota yang kontribusi ekspor dari UKM-nya sangat besar (Tabel 6).


Gambar 2 Komposisi dari ekspor manufaktur oleh IKM tahun 1999 (%)

 















Wood products
 

0                5                     10                  15                   20                   25                  30
Sumber: Berry dkk. (2001)

Tabel  Kinerja Ekspor IK: 1999-2001 (juta dollar AS)

Produk
1998
2000
2001
Pengolahan Ikan
Makanan ringan
Pakaian Jadi
TPT lainnya
Sepatu/alas kaki kulit
Barang jadi lainnya dari kulit
Batik
Meubel
Barang jadi dari rotan
Arang Kayu/Tempurung
Anyaman
Perhiasan Emas
Perhiasan Perak
Kerajinan dari kayu
Mainan anak-anak
Sulaman Bordir

52,17
4,18
813,07
80,52
32,04
121,98
243,17
26,32
56,99
23,48
59,91
123,11
49,07
122,26
1,60
1,68

53,69
5,35
977,06
113,10
33,45
142,98
322,33
32,77
65,54
29,88
71,80
73,70
33,57
120,51
128,45
1,83

50,34
5,97
919,47
106,86
30,11
167,5
322,43
35,2
67,52
20,49
76,96
92,76
18,42
123,39
89,06
4,46

Sumber: Depperindag



Tabel 6 Ekspor dari IKM sebagai suatu persentase dari ekspor total di dalam kelompok APEC

Negara
1990
1996
2000
Perkiraan Terbaik
Australia
Chile
Cina
Indonesia
Jepang
Korea Selatan
Meksiko
Singapura
Taiwan
AS

-*
6
50
-
-
42
-
8
-
29

49
5
60
5
15
42
21
-
-
30

51
4
-
-
-
40
-
8
24
-

50
5
60
5
15
43
21
8
24
30

Keterangan: *= tidak ada data
Sumber: Sek.APEC


Sebagai suatu perbandingan lebih rinci lagi dengan salah satu negara anggota, misalnya Korea Selatan. Pangsa ekspor IKM Korea Selatan di dalam ekspor total dari negara tersebut tidak saja tinggi tetapi diversifikasi produk ekspornya juga jauh berbeda dengan IKM Indonesia. Ekspor dari IKM Korea Selatan berorientasi pada produk-produk berteknologi menengah-tinggi. Dari nilai ekspor totalnya tahun 2001, ekspor dari elektronika dan produk-produk listrik mempunyai saham hampir 31%, disusul kemudian oleh tekstil dan pakaian jadi 20,2%, mesin dan alat transportasi hampir 21%, produk-produk dari karet dan kimia hampir 7%, dan produk-produk dari besi, baja dan logam mencapai 5% lebih (Tabel 7).



Tabel 7 Ekspor dari IKM Korea Selatan Menurut  Industri (2001) (juta dollar AS)


Primer
Kimia
Tekstil & Pakaian jadi
Elektronik
Mesin
Baja, Besi, Logam
Nilai

2,172

4,436

12,913

19,797

13,393

3,322

Rasio (%)

3,4

6,9

20,2

30,9

20,9

5,2

Sumber: SBC, Korea Selatan

Kinerja dan Daya Saing dari Beberapa Produk Ekspor Unggulan IKM Indonesia

Kinerja ekspor IKM Indonesia juga ditentukan oleh perkembangan atau kondisi dari pasar yang dilayani: apakah IKM memproduksi dan mengekspor barang-barang yang pasar luar negerinya sedang berkembang pesat (permintaan dunia meningkat pesat) atau sedang mengalami stagnasi (permintaan dunia menurun). Atau, produk-produk Indonesia yang IKM juga membuatnya mengalami penurunan daya saingnya atau mempunyai prospek yang bagus.
Sudah ada beberapa studi mengenai perkembangan pasar dunia untuk sejumlah komoditi yang juga merupakan produk-produk ekspor penting dari IKM Indonesia. Salah satunya dari Banerjee (2000, 2002) yang menganalisa perubahan struktur keunggulan komparatif dari ekspor manufaktur dari 7 negara di Asia yakni Indonesia, Cina, Malaysia, Taiwan, Korea Selatan, Singapura dan Thailand. Sebagai pendekatan analisanya, ia menggunakan pangsa ekspor relatif atau dikenal dengan indeks Revealed Comparative Advantage (RCA) dengan formula sebagai berikut:

            RCA = (Xik/Xim)/ (Xwk/Xwm)    (1)

di mana ekspor adalah nilai eskpor (dollar yang berlaku); i, w, dan m masing-masing mewakili negara yang diteliti, jumlah dunia, dan jumlah barang-barang manufaktur; dan k sama dengan 1 (padat tenaga kerja), 2 (padat modal) atau 3 (padat inovasi). RCA dapat didefinisikan sebagai berikut. Jika ekspor dari suatu negara dari suatu jenis barang, sebagai suatu persentase dari jumlah ekspor manufaktur dari negara tersebut, lebih tinggi daripada pangsa dari barang yang sama di dalam jumlah ekspor dunia, berarti negara tersebut memiliki keunggulan komparatif atas produksi dan ekspor dari barang tersebut. Nilai 1 dianggap garis pemisah antara keunggulan dan ketidakunggulan komparatif. Nilai RCA dari suatu produk dari suatu negara di atas 1 berarti negara tersebut mempunyai keunggulan komparatif di atas rata-rata dunia atas barang tersebut. Sebaliknya, lebih kecil dari 1 berarti keunggulan komparatifnya di bawah rata-rata dunia.  

Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa barang-barang manufaktur buatan Indonesia yang pangsa pasar dunianya meningkat selama periode yang diteliti didominasi oleh produk-produk berteknologi sederhana seperti tekstil, kulit, kayu dan karet; sedangkan Cina, sebagai suatu perbandingan, semakin unggul di produk-produk seperti mesin-mesin elektronik, alat-alat komunikasi dan semi-konduktor , atau Malaysia, Taiwan, Korea Selatan, Singapura dan Thailand  antara lain dalam komputer (Tabel 8). Terutama tekstil dan produk-produk dari kayu dan kulit merupakan produk-produk penting dari UKM Indonesia.


Tabel 8 Perubahan Struktur Keunggulan Komparatif dari Ekspor Manufaktur di 7 Negara Asia: 1970-94

Negara
Pangsa Pasar meningkat
Pangsa Pasar Menurun
Indonesia
Produk-produk dari karet, plastik, tekstil, kulit, kayu, dan gabus.
Produk-produk kimia
Cina
Alat-alat komunikasi, semikonduktor, mesin listrik, produk-produk dari karet dan plastik.
Makanan, minuman, produk-produk dari batu dan tanah liat
Malaysia
Komputer, dan produk-produk dari karet dan plastik

Taiwan
Komputer, produk-produk dari logam, mesin-mesin listrik
Makanan, minuman, logam bukan besi.
Korea Selatan
Kapal laut, komputer, mesin-mesin listrik

Produk-produk dari kayu dan gabus
Singapura
Komputer
Produk-produk dari kimia, kayu dan gabus
Thailand
Komputer, alat-alat komunikasi, semi-konduktor, produk-produk dari karet dan plastik

Logam bukan besi

Sumber: Banerjee (2000, 2002).


Studi paling baru adalah dari Hiratsuka (2003)  yang menggunakan indeks koefisien daya saing internasional (ICC) sebagai berikut:

ICC= (ekspor-import)/(ekspor+impor)           (2)

Secara implisit indeks ini mempertimbangkan sisi permintaan dan sisi penawaran sejak (ekspor – impor) identik dengan suplai domestik – permintaan domestik, atau sesuai teori perdagangan internasional yakni teori vent for surplus, ekspor dari suatu barang terjadi apabila ada kelebihan atas barang tersebut di pasar domestik. Sebenarnya, menurut Hiratsuka, dengan mengobservasi indeks ini sepanjang waktu, menurut komoditi atau industry, kita dapat membahas kesenjangan permintaan dan penawaran di pasar domestik dan sekaligus mengukur derajat dari daya saing dari komoditi atau industri bersangkutan.
Nilai indeks ICC adalah antara –1 dan 1. Jika indeks ini menunjukkan suatu nilai di bawah nol, industri atau komoditi bersangkutan mempunyai tingkat daya saing yang rendah dan suplai domestik lebih kecil daripada permintaan domestik. Sebaliknya, jika nilainya positif, berarti industri atau komoditi tersebut mempunyai daya saing yang kuat. Kalau indeksnya naik berarti daya saing naik, dan sebaliknya.
Dengan memakai pendekatan analisa ini, Hiratsuka melakukan penelitian terhadap posisi daya saing dari sejumlah negara di Asia menurut kelompok komoditi dan industri. Posisi daya saing dibagi dalam lima (5) tahap sesuai teori siklus produk, yakni sebagai berikut:
1)  “Tahap pengenalan” ketika suatu industri (forerunner) di suatu negara (sebut A) mengekspor produk-produk baru dan industri pendatang belakangan (latercomer) di negara B impor produk-produk tersebut. Dalam tahap pertama ini, nilai indeks ICC dari industri latercomer adalah –1.
2)  “Tahap substitusi impor”: nilai indeks ICC naik antara –1 dan 0. Pada tahap ini, industri di negara B menunjukkan daya saing yang buruk sejak tingkat produksinya tidak cukup tinggi untuk mencapai skala ekonominya (optimal). Industri tersebut mengekspor produk-produk dengan kualitas tidak bagus hingga tingkat tertentu, dan produksi dalam negeri masih lebih kecil daripada permintaan dalam negeri. Dalam kata lain, untuk komoditi bersangkutan, pada tahap ini negara B lebih banyak mengimpor daripada mengekspor.
3)  “Tahap ekspor”: nilai indeks ICC naik antara 0 dan 1, dan industri di negara B melakukan produksi dalam skala-skala yang besar dan meningkatkan ekspor mereka dalam laju yang pesat, dan di pasar domestik untuk komoditi tersebut, penawaran lebih besar daripada permintaan. Industri tersebut mengekspor produk-produk dari “kelas bawah” dari kelompoknya dan impor produk-produk dari “kelas atas” dari kelompok produk yang sama.dari industri di negara A
4)  “Tahap kedewasaan”: nilai indeks ICC menurun antara 1 dan 0, dan produk bersangkutan sudah pada tahap standarisasi menyangkut teknologi yang dikandungnya. Industri-industri pencipta dari produk bersangkutan di negara A secara perlahan mengurangi ekspornya, karena secara bertahap gagal bersaing dengan industri-industri pendatang baru dari negara B di pasar dunia, tetapi di pasar domestik produksi masih lebih banyak daripada permintaan. Industri-industri di negara A pada tahap ketiga ini mengekspor produk-produk dari ‘kelas atas’ dari kelompoknya sedangkan industri-industri di negara B mengekspor produk-produk dari ‘kelas bawah” dari kelompok produk yang sama.
5)  Terakhir, “tahap kembali mengimpor”: nilai indeks ICC menurun antara 0 dan –1. Pada tahap ini, industri di negara A kalah bersaing di pasar domestiknya dengan industri dari negara B, dan produksi dalam negeri lebih sedikit dari permintaan dalam negeri.
 Hasil penelitiannya dengan pendekatan analisa di atas ditunjukkan di Tabel 9. Untuk kasus Indonesia, sebagian besar dari produk yang diteliti masih dalam tahap substitusi impor, sedangkan komoditi-komoditi pertanian sudah pada tahap terakhir, yakni Indonesia menjadi negara pengimpor. Produk-produk yang masuk tahap ekspor yang juga merupakan produk-produk ekspor penting dari IKM Indonesia diantaranya adalah produk-produk berbasis pertanian seperti makanan, minuman, dan rokok, barang-barang dari kulit termasuk alas kaki dan dari kayu termasuk kayu meubel, dan pakaian jadi. 

Tabel 9 Ringkasan dari Posisi Daya Saing Menurut Kelompok Komoditi dari Sejumlah Negara di Asia


Tahap 2
Tahap 3
Tahap 4
Tahap 5

Singapura
11,16,18,19,20,21,22,23,
24,25,26,27,30,31

6,8,9,10,12,13,14,15,
28,29

7,17

1,2,3,4,5
Malaysia
10,11,12,13,14,16,17,18,19,20,
22,23,2 4,25,27,28,29,30

2,3,4,5,7,8,9,15,21,
26,31

6

1
Thailand
11,12,18,19,20,23,24,
25,28,29,30

1,2,3,4,5,7,8,9,10,13,14,15,
16,17,21,22,26,27,31

6

Filipina
10,11,12,13,14,16,19,20,21,
22,23,24,25,26,27,28,29,30

3,5,8,9,15,17,
18,31


6,7

1,2,4
Indonesia
10,11,12,16,17,18,19,20,22,23,
24,25,27,28,29,30

2,3,4,5,6,7,8,9,13,14,
15,21,26,31



1
Vietnam
7,8,9,10,11,13,15,18,20,21,22,
23,24,25,26,27,28,29,30

1,2,3,4,5,6,14,31



China
12,13,14,15,16,18,19,20,23,
24,25,26,27,28,29,30

3,4,5,6,7,8,9,10,11,17, 21,22,31

1,2

Jepang
1,2

12,16,17,18,19,20,21,22,23,24,25,
26,27,28,29,30,31

7,8,10,11,13,
14,15

3,4,5,6,9
Korea Selatan
1,2,10,16,19,20,24,25,28,30,31

3,7,11,12,13,14,15,16,17,18,
21,22,23,26,27,29

4,5,6,9

8
Taiwan
1,20,23,25,28,29,30

3,5,11,12,13,14,15,17,18,21,26,27

4,6,7,8,9,10,19
2,16,22,24,31


Keterangan:         
1) komoditi-komiditi pertanian, 2) komoditi-komoditi pertanian yang diproses, 3) pakaian jadi, 4) alas kaki dan barang-barang lainnya dari kulit,5) meubel, 6) barang-barang manufaktur ringan lainnya, 7) alat-alat rumah tangga dari listrik, 8) alat-alat komunikasi dan perkantoran, 9) komputer (PC) dan alat-alat  pendukung, 10) alat-alat presisi, 11) pemprosesan logam, 12) pencetakan 13) bagian-bagian dari alat-alat listrik untuk rumah tangga, 14) bagian-bagian dari alat-alat komunikasi dan  perkantoran, 15) komponen-komponen elektronik, 16) bagian-bagian dari alat-alat presisi, 17) bagian-bagian dari sepeda motor, 18) bagian-bagian dari otomobil, 19) bagian-bagian dari alat mesin, 20) bagian-bagian dari mesin industri, 21) sepeda motor, 22) kendaraan niaga, 23) mobil penumpang, 24) alat-alat mesin, 25) , mesin-mesin industri, 26) benang dan barang tenunan/kain, 27), tekstil serat sintetik, 28) produk-produk petrokimia, 29) petrokimia dasar, 30) besi dan baja, 31) glas dan semen.
Sumber: Hiratsuka (2003).


Selanjutnya, hasil penelitiannya juga menunjukkan industri-industri apa yang memiliki daya saing, yang mempunyai prospek baik, dan apa yang tidak mempunyai daya saing lagi menurut negara-negara tersebut. Seperti yang dapat dilihat di Tabel 10, bagi Indonesia, berdasarkan perhitungannya, relatif cukup banyak industri yang mempunyai daya saing yang sebagian juga merupakan produk-produk ekspor penting selama ini dari IKM Indonesia. Tetapi, dibandingkan Cina, Vietnam, Malaysia dan Singapura, jumlah industri di Indonesia yang menjanjikan relatif sedikit, dan yang tidak mempunyai daya saing relatif banyak.


Tabel 10 Derajat dari Daya Saing Menurut Komuditi/Industri


Industri yang Kompetitif
Industri yang menjanjikan
Industri yang tidak kompetitif
Singapura

6,7,8,9,10,12,13,14,15,28,29

16,18,20,24,25,26,30

1,2,3,4,5,11,17,19,21,22,23,27,31

Malaysia

2,3,4,5,6,7,8,9,15,21,26,31

10,11,12,13,14,16,18,20,28,29

1,17,19,22,23,24,25,27,30

Thailand

1,2,3,4,5,6,7,8,9,10,13,14,
15,16,17,21,22,26,27,31

11,18,20,23,29

12,19,24,25,28,30

Filipina

3,5,6,7,8,9,15,17,18,31

10,12,19

1,2,4,11,13,14,16,20,21,22,23,24,
25,26,27,28,29,30

Indonesia

2,3,4,5,6,7,8,9,13,14,15,21,26,31

10,11,16,28,29,30

1,12,17,18,19,20,22,23,24,25,27

Vietnam

1,2,3,4,5,6,14

7,8,10,11,13,15,20,21,27,18

9,22,23,24,25,26,28,29,30

China

1,2,3,4,5,6,7,8,9,10,11,17,21,22,31

13,14,15,16,18,19,20,26,28,29,30

12,23,24,25,27

Jepang

7,8,10,11,12,13,14,15,16,17,18,19,20,21,
22,23,24,25,26,27,28,29,30,31


1,2,3,4,5,6,9

Korea Selatan

3,4,6,7,9,11,12,13,14,15,17,18,21,22,26,27,29

20,24,28,30,31

1,2,5,8,10,16,19,25

Taiwan

3,4,5,6,7,8,9,11,12,13,14,15,17,18,21,26,27

20,28,29,30

1,2,10,16,19,22,23,24,25,31


Keterangan: lihat Tabel 9.
Sumber: Hiratsuka (2003).



Salah satu negara pesaing berat Indonesia saat ini yang bisa menjadi suatu ancaman serius bagi kelangsungan ekspor non-migas Indonesia, dan IKM pada khususnya, adalah Cina.Perhitungan dari ITC/WTO seperti yang dapat dilihat di Tabel 11 dapat memberikan suatu gambaran mengenai perbedaan antara posisi relatif dari produk-produk Indonesia dengan posisi relatif dari produk-produk Cina di pasar global untuk periode 1994-2001. Posisi relatif tersebut diukur dengan sejumlah indikator, yakni tren pertumbuhan dari ekspor (laju pertumbuhan rata-rata per tahun), pangsa di pasar dunia, diversifikasi produksi dan pasar, konsentrasi produk dan pasar, tingkat fleksibilitas dalam menyesuaikan dengan dinamika dari permintaan dunia, dan perubahan absolut dari pangsa pasar dunia. Misalnya, untuk tekstil, laju pertumbuhan ekspor Indonesia rata-rata per tahun selama periode 1994-1998 sekitar 4% dan Indonesia berada pada posisi ke 85 dari 103 negara yang mengekspor tekstil dan untuk periode 1997-2001 sebesar 20%, berarti suatu kenaikan, dan posisinya menguat ke posisi ke 27. Sebagai perbandingan, untuk periode 1997-2001 laju pertumbuhan ekspor tekstil Cina rata-rata per tahun lebih rendah yakni sekitar 12% dan pada posisi ke 42. Tetapi, pangsa pasar dunia Cina untuk tekstil pada periode 1997-2001 tercatat pada posisi ke 1, yakni sebesar 11,75%; sedangkan Indonesia berada pada peringkat 14 dengan 2,24%. Pada periode 1994-1998, pangsa pasar dunia Indonesia untuk tekstil tercatat sebesar 1,60% atau pada posisi ke 16; berarti ada sedikit perbaikan. Tetapi, untuk periode yang sama Cina berada pada peringkat ke 17 dengan 1,32%, berarti selama periode 1994-2001, kemajuan Cina dalam memperkuat pangsa pasar dunianya untuk tekstil jauh lebih baik dibandingkan Indonesia.
Peringkat Indonesia dalam daya saing internasional dapat juga diukur dalam bentuk indikator-indikator statik, disebut Indeks yang Berlaku (CI) dan perubahan dalam pangsa pasar dunia (poin persentase) maupun indikator-indikator dinamik lainnya yang disebut Indeks Perubahan (IP). CI dihitung berdasarkan beberapa variabel yakni ekspor neto, ekspor per kapita, pangsa pasar dunia, dan diversifikasi produk dan pasar. Sedangkan, IP adalah perubahan dalam pangsa pasar dunia, cakupan ekspor/impor, diversifikasi produk dan pasar, dan korelasi dengan dinamika-dinamika dari permintaan internasional. Hasil perhitungan dari dua indeks ini diperlihatkan di Tabel 12, yang menunjukkan bahwa untuk produk-produk yang tidak terlalu tergantung pada sumber daya alam tetapi lebih pada teknologi dan keahlian, Cina jauh lebih unggul dibandingkan Indonesia. Bahkan dalam tekstil dan pakaian jadi yang merupakan salah satu produk unggulan ekspor Indonesia, kinerja Cina di pasar dunia lebih baik daripada Indonesia. Dalam kata lain untuk produk-produk ini Indonesia mendapat persaingan sangat ketat dari Cina. Masalah persaingan Indonesia dengan Cina untuk tekstil dan pakaian jadi di pasar dunia nanti akan dibahas lebih lanjut. Juga untuk produk-produk unggulan lainnya, Indonesia mendapat persaingan ketat dari Cina, misalnya produk-produk dari kayu yang mana posisi Cina dalam perubahan di pasar dunia berada pada peringkat ke dua sedangkan Indonesia di atas 100 dari 184 negara. Juga untuk produk-produk dari kulit, Cina berada pada peringkat pertama (1), sedangkan Indonesia pada posisi ke sembilan (9).

Tabel 11 Indeks Kinerja Ekspor Indonesia (RI) versus Cina © untuk Beberapa Produk


I
II
III
IV
V
VI
VII
VIII
IX

RI
C
RI
C
RI
C
RI
C
RI
C
RI
C
RI
C
RI
C
RI
C
A

B

C

D

E

F

G

H

I

J

K

L

M

N
4(107)*
2(91)*

19(32)
10(47)

14(47)
11(43)

4(85)
20(27)

45(11)
40(10)

-5(58)
7(40)

26(24)
54(11)

88(4)
37(15)

29(27)
43(13)

69(8)
43(12)

34(12)
27(16)

-1(106)
17(32)

18(51)
25(32)

2(100)
3(95)

5(98)
6(57)

11(51)
11(44)

16(43)
19(24)

8(69)
12(42)

18(41)
13(51)

10(31)
7(39)

23(29)
12(44)

18(41)
25(20)

33(25)
34(19)

30(23)
23(23)

27(21)
25(19)

12(54)
7(68)

15(58)
13(60)

16(38)
14(36)

1,86(17)
1,41(19)

0,94(23)
1,08(22)

2,78(10)
3,38(7)

1,60(16)
2,24(14)

0,44(30)
0,51(28)

2,92(10)
2,59(10)

0,47(36)
0,61(33)

0,14(39)
0,15(37)

0,45(25)
0,93(22)

0,23(33)
0,45(28)

0,11(41)
0,08(46)

1,50(18)
2,42(11)

0,66(24)
0,6826)

2,73(14)
2,46(11)

3,23(9)
3,92(7)

2,57(14)
2,80(11)

1,70(16)
2,14(13)

8,71(3)
11,75(1)

2,07(13)
2,35(13)

26,17(1)
22,30(1)

3,77(10)
4,81(6)

1,32(17)
2,30(10)

4,81(7)
8,10(3)

3,10(13)
4,95(6)

0,92(16)
1,27(13)

17,14(1)
19,58(1)

7,13(5)
8,11(3)

1,65(21)
1,31(27)

8(49)
8(56)
9(44)
9(58)
8(57)
12(36)
17(35)
36(19)
30(30)
43(21)
4(25)
4(52)
22(36)
34(30)
18(52)
23(47)
7(30)
13(4)
16(26)
27(15)
5(37)
11(14)
19(25)
47(5)
2(113)
18(43)
4(51)
4(47)

39(1)
39(4)
21(18)
32(9)
18(17)
26(11)
46(8)
80(4)
109(2)
141(1)
8(3)
11(15)
75(5)
96(4)
26(38)
41(25)
13(3)
13(3)
37(2)
46(2)
8(16)
9(26)
29(3)
56(1)
30(31)
63(5)
10(8)
7(12)

(34)
(32)
(30)
(35)
(40)
(27)
(25)
(17)
(28)
(22)
(18)
(35)
(35)
(29)
(45)
(40)
(27)
(4)
(26)
(15)
(35)
(12)
(22)
(5)
(67)
(32)
(27)
(25)

(1)
(4)
(12)
(6)
(12)
(11)
(8)
(4)
(1)
(1)
(2)
(10)
(5)
(4)
(34)
(20)
(3)
(1)
(2)
(2)
(9)
(19)
(3)
(1)
(19)
(5)
(5)
(6)

8(56)
7(61)
12(26)
17(10)
12(9)
11(18)
24(1)
27(1)
22(5)
20(7)
4(27)
5(38)
11(31)
12(23)
6(50)
5(55)
5(41)
7(34)
7(34)
7(42)
7(23)
12(14)
4(36)
5(29)
3(95)
7(44)
4(68)
4(79)

7(62)
8(57)
6(58)
4(80)
6(56)
7(50)
6(51)
9(30)
14(22)
17(11)
5(26)
6(29)
11(26)
11(27)
11(22)
13(13)
7(29)
8(32)
8(27)
8(29)
12(10)
13(10)
6(23)
6(17)
5(60)
5(61)
8(26)
8(25)

(22)
(17)
(25)
(5)
(9)
(4)
(4)
(1)
(6)
(4)
(11)
(10)
(21)
(8)
(35)
(34)
(28)
(25)
(23)
(25)
(29)
(18)
(14)
(9)
(44)
(19)
(50)
(36)

(17)
(19)
(31)
(41)
(20)
(21)
(19)
(15)
(14)
(10)
(5)
(8)
(11)
(12)
(18)
(14)
(19)
(18)
(16)
(19)
(7)
(8)
(8)
(7)
(29)
(26)
(9)
(11)

-0,01
-5,06
-0,02
-4,89
-0,05
-2,26
-0,03
9,10
0,11
-0,16
-0,08
-0,15
0,03
-0,17
0,31
7,67
-0,03
13,15
0,04
16,72
0,00
2,15
-0,07
10,55
0,04
1,92
-0,03
-5,79

-0,04
2,60
-0,01
3,12
0,08
9,06
-0,01
5,29
0,06
2,03
0,04
4,52
0,09
3,96
0,08
16,27
0,15
23,01
0,13
19,49
0,15
11,49
0,00
1,84
0,06
6,10
0,03
-5,56

(15)
(107)
(100)
(55)
(61)
(65)
(53)
(26)
(115)
(112)
(17)
(43)
(51)
(98)
(105)
(52)
(75)
(52)
(68)
(48)
(47)
(77)
(31)
(97)
(102)
(53)
(59)
(15)

(128)
(108)
(85)
(108)
(11)
(72)
(94)
(9)
(48)
(120)
(14)
(36)
(10)
(47)
(107)
(68)
(71)
(51)
(50)
(33)
(77)
(58)
(80)
(17)
(120)
(108)
(40)
(107

-
-0,1(163)
-
-0,1(134)

-
-0,03(106)
-
0,2(3)
-
0,03(10)
-
0,02(9)
-
0,05(5)
-
0,02(14)
-
0,09(9)
-
0,05(11)
-
0,002(32)
-
0,19(4)
-
0,02(15)

-
-0,17(137)

-
0,1(3)
-
0,01(6)
-
0,16(3)
-
0,67(1)
-
0,07(5)
-
0,86(1)
-
0,2(1)
-
0,26(1)
-
0,95(1)
-
0,55(1)
-
0,11(5)
-
0,41(1)
-
0,42(1)
-
-0,1(131

























Keterangan:
-a: Bahan makanan tidak diolah (166); b: Bahan makanan diolah (143); c= Produk kayu (114); d =Tekstil (103); e =Bahan kimia (121); f=Produk dari kulit (87); g=Produk dasar (129);
  h=Mesin non listrik (98); i= IT & elektronik konsumen (69); y= Komponen elektronik (94); k= Alat angkutan (90); l = Pakaian (112); m = Produk industri lainnya (122); n=Mineral (141).

-I = tren dari ekspor (97-01) per tahun (%); II = pangsa pasar dunia (%); III = diversifikasi produk (jumlah produk-produk serupa yang diekspor); IV= konsentrasi produk;
V = diversifikasi pasar (jumlah pasar yang dilayani); VI= konsentrasi pasar; VII = perubahan relatif dari pangsa pasar dunia (% per tahun); VIII = kemampuan menyesuaikan diri dengan
dinamika dari   permintaan dunia; IX = perubahan absolut dari pangsa pasar dunia (poin persentase per tahun).

-* = periode 1994-98 dan** = periode 1997-2001. Angka dalam kurung adalah peringkat diantara negara-negara lain yang juga mengekspor produk yang sama. Jumlah negara untuk masing-masing produk
dapat dilihat di dalam kurung menurut kategori produk di catatan kaki di atas.

Sumber: ITC/WTO (COMTRADE dari UNSD).

Tabel 12 CI dan IP Indonesia (RI) dan Cina © untuk Beberapa Produk: 2001*

Produk
C1
Perubahan dalam pangsa pasar dunia
RI
C
RI
C
Mineral
Produk-produk kayu
IT & elektronik konsumen
Pakaian
Bahan makanan tidak diolah
Bahan-bahan kimia
Tekstil
Olahan lainnya
Produk-produk dasar
Makanan diolah
Komponen listrik
Produk-produk kulit
Mesin non-listrik
Alat angkutan

12(14)**
7(6)
18(19)
7(5)
28(25)
34(32)
12(11)
22(22)
27(41)
23(23)
16(17)
15(13)
57(58)
40(41)

50(51)
42(43)
4(10)
2(2)
44(20)
28(28)
11(12)
12(10)
33(16)
24(24)
22(23)
6(6)
24(29)
30(11)

131(75)
2(45)
1(41)
1(29)
4(103)
5(95)
1(6)
1(93)
1(49)
6(14)
1(23)
1(13)
1(17)
5(22)

131(75)
2(45)
1(41)
1(29)
4(103)
5(95)
1(6)
1(93)
1(49)
6(14)
1(23)
1(13)
1(17)
5(22)

Keterangan: * = peringkat pertama  (satu) berarti kinerjanya paling bagus diantara 184 negara ; ** = 2000; *** = CI
Sumber: lihat Tabel 11


Cara lainnya yang umum digunakan untuk mengukur daya saing global dari suatu produk adalah menghitung Revealed Comparative Advantage (RCA). Indeks ini membandingkan pangsa dari suatu produk di dalam ekspor total suatu negara dengan pangsa dari produk yang sama di ekspor dunia. Nilai di atas 1 (satu) menandakan bahwa negara bersangkutan unggul atau berspesialisasi dalam produksi dan ekspor produk tersebut. Di Tabel 13 dapat dilihat perbandingan RCA Indonesia dengan Cina dan posisinya di pasar dunia yang menunjukkan bahwa posisi Indonesia paling baik adalah untuk dua jenis barang yakni produk-produk dari kayu dan tekstil, dan paling buruk adalah untuk bahan-bahan makanan yang tidak diolah. Sedangkan posisi Cina paling tinggi berdasarkan RCA adalah dari produk-produk manufaktur lainnya dan disusul oleh tekstil dan produk-produk dari kulit.

Tabel 13 RCA Indonesia dan Cina: 1997-2001

Produk
RI
C
Mineral
Produk-produk kayu
IT & elektronik konsumen
Pakaian
Bahan makanan tidak diolah
Bahan-bahan kimia
Tekstil
Olahan lainnya
Produk-produk dasar
Makanan diolah
Komponen listrik
Produk-produk kulit
Mesin non-listrik
Alat angkutan

2,43(49)*
3,43(19)
0,94(21)
2,45(46)
1,42(101)
0,52(74)
2,25(19)
0,69(52)
0,63(80)
1,11(79)
0,45(47)
2,50(31)
0,15(79)
0,08(79)

0,27(109)
0,46(89)
1,72(13)
4,16(30)
0,83(121)
0,50(75)
2,48(12)
1,73(9)
1,03(54)
0,60(103)
1,05(22)
4,53(13)
0,49(40)
0,27(48)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar